Ilustrasi gambar badai social dan politik, sumber: Revolusioner.org
Maylitha Luciona Demorezza – Pegiat Sosial
PWMU.CO – Bayangkan sebuah kapal besar yang berlayar di lautan luas pada malam hari, dengan ombak besar yang mengombang-ambingkan arah dan hanya satu mercusuar sebagai pemandu. Begitulah peran Muhammadiyah bagi bangsa Indonesia sebagai mercusuar moderasi di tengah ketegangan sosial-politik yang kian tajam. Melalui prinsip moderasi, organisasi ini menawarkan cara berislam yang damai dan adaptif, yang tidak ekstrem ke kanan maupun ke kiri, melainkan berjalan pada jalan tengah yang adil, wasathiyyah.
Dalam dunia yang semakin penuh konflik, terutama di era media digital yang penuh informasi tanpa filter, ekstremisme menjadi salah satu ancaman terbesar bagi keutuhan sosial. Data dari Wahid Foundation menunjukkan bahwa lebih dari 80% masyarakat Indonesia pernah mengalami ketegangan akibat perbedaan agama. Angka ini adalah tanda bahaya bagi persatuan bangsa, mengingat Indonesia terdiri dari ratusan suku dan agama. Di tengah kondisi ini, Muhammadiyah hadir sebagai pelopor moderasi beragama yang mengajak masyarakat pada kedamaian dan keterbukaan, tanpa harus kehilangan identitas.
Sejak didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1912, Muhammadiyah berkomitmen untuk menerapkan Islam sebagai agama yang rahmatan lil alami (rahmat bagi semesta). Pendekatan ini terlihat dalam gerakan taajdid atau pembaruan yang dirintis oleh K.H. Ahmad Dahlan, yang membawa pendidikan modern ke dalam masyarakat Islam di Indonesia pada zamannya. K.H. Ahmad Dahlan bahkan sering dituduh kafir oleh sebagian ulama konservatif, namun beliau tetap konsisten dalam menyebarkan ajaran Islam yang moderat.
Dari K.H. Ahmad Dahlan, Muhammadiyah mewarisi prinsip moderasi yang menempatkan akal dan ilmu sebagai penuntun dalam beragama. Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, menegaskan bahwa moderasi ini dibangun dari pemahaman bahwa agama bukan sekadar ideologi, tetapi juga ajaran yang mengutamakan perdamaian dan keadilan.
Moderasi, menurut Mu’ti, bukanlah produk asing atau hasil dari tekanan eksternal, tetapi adalah nilai yang telah ada dalam Al- Qur’an, yang menyebut umat Islam sebagai ummatan wasathan, yaitu umat yang moderat. Namun, dalam masyarakat yang makin terpolarisasi, apakah moderasi ini cukup kuat untuk mengatasi konflik sosial-politik yang terus berkembang? Muhammadiyah menjawab tantangan ini dengan cara yang unik.
Alih-alih terjebak dalam konflik ideologis atau agama, Muhammadiyah justru menciptakan ruang perjumpaan dan dialog antarumat beragama. Dalam amal usaha Muhammadiyah, seperti rumah sakit, sekolah, dan kampus, semua orang dari latar belakang agama apa pun diterima dengan tangan terbuka. Inilah bukti nyata bahwa Muhammadiyah tidak hanya berbicara tentang moderasi, tetapi juga melaksanakannya dalam kehidupan. Toleransi menjadi dasar kuat dalam setiap aktivitas Muhammadiyah, terutama di bidang pelayanan publik. Sebagai contoh, ketika menghadapi pandemi COVID-19, Muhammadiyah mengerahkan berbagai upaya kesehatan yang menjangkau semua kalangan tanpa memandang agama, suku, atau golongan. Hal ini sejalan dengan prinsip taawun (saling tolong- menolong) yang menjadi nilai utama Muhammadiyah. Dari sini, Muhammadiyah membuktikan bahwa moderasi adalah solusi untuk menghadapi krisis sosial yang kompleks.
Moderasi Muhammadiyah juga menjadi tameng yang kuat di tengah arus ekstremisme. Ketika organisasi lain memilih aksi jalanan atau bentuk konfrontasi keras dalam menyampaikan pandangan, Muhammadiyah selalu menegaskan pendekatan amar ma’ruf nahi munkar yang damai. Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, menegaskan bahwa dakwah tidak perlu dengan cara-cara ekstrem yang justru mengganggu stabilitas bangsa. Pendekatan yang dibangun dalam Muktamar Muhammadiyah 2010 ini menegaskan bahwa amar ma’ruf nahi munkar bukan tentang keras atau lemahnya tindakan, tetapi bagaimana sebuah organisasi mampu membawa perubahan tanpa menambah masalah baru.
Tentu saja, prinsip moderasi yang diusung Muhammadiyah bukan tanpa tantangan. Moderasi sering dipandang sebagai sikap “lembek” oleh sebagian kalangan. Namun, justru inilah kekuatan Muhammadiyah: konsistensi dan ketangguhannya di tengah godaan ekstremisme. Di saat banyak pihak yang terseret ke dalam konflik politik dengan membawa nama agama, Muhammadiyah tetap istiqamah dengan gerakan moderasi yang bertumpu pada ilmu dan kebijaksanaan.
Di satu sisi, Muhammadiyah terus berkontribusi dalam pembangunan bangsa melalui amal usahanya yang tersebar di seluruh penjuru negeri. Di sisi lain, Muhammadiyah juga berperan dalam menanggulangi konflik sosial-politik dengan cara yang bijak, sebagaimana disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam sambutannya pada Milad Muhammadiyah ke-108. Beliau mengakui peran Muhammadiyah dalam mencerdaskan bangsa melalui pendidikan dan kesehatan yang memberikan manfaat bagi jutaan rakyat Indonesia .
Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia membutuhkan lebih banyak organisasi seperti Muhammadiyah yang mengusung nilai moderasi untuk menciptakan persatuan. Moderasi yang dikembangkan Muhammadiyah bukan hanya tentang menjaga harmoni, tetapi juga mengajarkan cara hidup yang damai di tengah pluralitas. Prinsip tafahum (pemahaman mendalam) yang diterapkan Muhammadiyah mengajarkan bahwa perbedaan harus dipahami secara bijak, bukan dijadikan alasan untuk berselisih.
Dengan nilai-nilai ini, Muhammadiyah menegaskan bahwa Islam bukan agama yang frontal atau kaku, tetapi agama yang damai dan fleksibel untuk berkembang di era modern. Melalui dakwah moderasi, Muhammadiyah mengajak seluruh elemen bangsa untuk merangkul perbedaan dan membangun negeri bersama-sama, tanpa harus kehilangan jati diri. Jalan tengah yang ditempuh Muhammadiyah adalah pilihan yang sulit, tetapi inilah yang membawa bangsa Indonesia ke arah kemajuan yang damai dan berkeadaban.
Editor Teguh Imami