Oleh: Nazaruddin Latif
PWMU.CO – Tulisan ini hendak mengkaji keberadaan Artificial Intelligence (AI) di tengah identitas Muhammadiyah sebagai gerakan berkemajuan dan mencerahkan, sekaligus sebagai tulisan yang mencoba menguraikan kegelisahan mengenai terjadinya pergeseran otoritas intelektual.
AI yang biasa disebut sebagai kecerdasan buatan merupakan terobosan luar biasa di bidang teknologi. Kehadirannya dirancang memiliki kemampuan belajar secara cepat, menganalisis data-data secara akurat, dan mampu menjawab persoalan yang diberikan.
Ibarat mesin, AI dirancang mampu melakukan tugas-tugas intelektual yang sebelumnya hanya bisa dilakukan oleh manusia. Wajar saja jika keberadaannya selalu diperbincangkan utamanya keabsahannya jika digunakan sebagai referensi untuk menyelesaikan tugas-tugas akademik dan intelektual. Selain itu, juga kegelisahan terjadinya pergeseran otoritas intelektual yang sebelumnya terpusat pada manusia sebagai sumber referensinya.
Seiring dengan adanya kemajuan teknologi, generasi yang “melek” teknologi dan terkoneksi internet biasanya mencari referensi maupun ide literasi tidak perlu lagi bersusah payah bertanya kepada para ahli secara konvensional, tetapi cukup dengan berselancar di dunia maya. Secara mudah dan cepat jawaban itu bisa ditemukan.
Muhammadiyah sebagai organisasi yang identik dengan gerakan berkemajuan dan mencerahkan harus menyikapi teknologi AI ini sebagai peluang sekaligus tantangan.
Karakteristik organisasi yang inklusif dan terbuka dalam mengikuti perkembangan teknologi serta dinamika sosial harus melihat AI secara komprehensif. AI tak ubahnya teknologi-teknologi yang lain, mempunyai implikasi positif dan tentu juga negatif.
Hal terpenting adalah bagaimana cara mengambil kebermanfaatannya dan mereduksi implikasi negatif seperti kegelisahan terjadinya pergeseran otoritas intelektual yang masif terjadi.
Di era sekarang, membangun keakraban dengan teknologi adalah keniscayaan. Tidak tepat mempertahankan paradigma rivalitas yang beranggapan bahwa teknologi sebagai lawan manusia. Layaknya pertandingan antara Garry Kasparov melawan Deep Blue sebuah komputer IBM yang menggemparkan dunia catur pertengahan dekade 1990-an hingga pertengahan 2000-an.
Garry Kasparov yang merupakan pecatur terbaik dunia diposisikan mewakili manusia, sedangkan Deep Blue merupakan komputer IBM yang dirancang mampu mengevaluasi 200 gerakan per detik. Dalam pertandingan itu seakan menyiratkan framing bahwa martabat manusia dipertaruhkan dalam pertandingan itu. Oleh karena itu, mengedepankan paradigma berpikir positif (positive thinking) terhadap kemajuan teknologi itu penting.
Keberadaannya yang tidak terlepas dari usaha manusia sendiri, dengan tidak kenal lelah, terus berpikir, berkreasi, dan berinovasi kemudian menuangkannya imajinasi serta kemampuannya untuk menghasilkan temuan baru yang akan mempermudah terpenuhinya usaha manusia.
Kekhawatiran yang berlebihan justru akan menghambat kemajuan, serta memasung manusia dalam kehidupan primitif.
Digitalisasi Kegiatan Persyarikatan
Dalam persyarikatan Muhammadiyah telah dilakukan sosialisasi digitalisasi sejarah Muhammadiyah. Sebuah langkah yang luar biasa untuk menyimpan rekam jejak sejarah secara digital. Hasilnya berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Muhammadiyah hingga organisasi otonom serta amal usahanya mudah ditemukan di internet.
Kendati demikian, usaha itu tetap mempunyai kendala yang harus segera diatasi, mengingat semakin bertambah besarnya organisasi, dan juga kompetisi antarorganisasi yang semakin ketat.
Sekalipun tetap berpegang pada titah “fastabiqul khairat” atau berlomba-lomba dalam kebaikan, membesarkan organisasi dengan menjadikannya sebagai yang terdepan dalam kompetisi itu merupakan tanggung jawab yang harus direalisasikan.
Digitalisasi kegiatan bisa berlangsung cepat dan mudah jika didukung oleh orang-orang yang akrab dengan teknologi itu. Tanpa keberadaan orang-orang tersebut tentu akan sulit direalisasikan.
Pada level pimpinan daerah, wilayah, apalagi pusat keberadaan orang-orang tersebut mudah ditemukan, tetapi untuk level “akar rumput” seperti di tingkat cabang bahkan ranting, kendati ada yang merambah dunia digital, justru pada kenyataannya tidak semua cabang maupun ranting memiliki personil yang ahli di bidang tersebut.
Realitas itu dipengaruhi oleh dua persoalan. Pertama, di level “akar rumput” didominasi oleh generasi tua yang latar belakang pendidikannya tidak mendukung usaha itu. Umumnya berkecimpung dalam organisasi hanya sekadar untuk mengisi waktu luang karena tidak lagi bekerja atau sudah memasuki purna tugas.
Dengan usia yang dikategorikan lansia penguasaan di bidang teknologi digital sangat minimalis, bahkan ada yang tidak bisa sama sekali.
Kedua, pergerakan organisasi di level tersebut ibaratnya didukung oleh aktivis yang hanya sekadar menjadikannya sebagai “sampingan” atau bukan aktivitas pokok dalam kehidupannya. Apalagi jika dalam organisasi itu diisi oleh orang yang tidak bekerja di Amal Usaha Muhammadiyah atau orientasinya tidak linier dengan organisasi.
Salah satunya yaitu para pengusaha, meskipun loyalitasnya terhadap persyarikatan sangat tinggi, namun jika tidak ditunjang oleh waktu yang luas untuk mengurus organisasi tentu saja hasilnya tidak akan maksimal.
Dalam situasi tersebut, jika aktivis-aktivis di level bawah sudah mampu melaksanakan kegiatan yang telah diagendakan, maka hal tersebut merupakan prestasi yang luar biasa, meski tanpa adanya digitalisasi.
Persoalan tersebut tentu harus ditemukan solusinya. Salah satunya adalah dengan menggerakkan kader-kader muda yang mempunyai motivasi dan inovasi untuk mengembangkan organisasi menjadi lebih maju.
Adanya era digital yang memberikan kelonggaran untuk mengeksplorasi dan mempromosikan setiap kegiatan juga membutuhkan sosok yang terampil dan menguasai di bidang digital. Jika mengandalkan aktivis generasi yang tidak akrab dengan teknologi digital, sebagus apapun kegiatan yang diadakan akan percuma karena jejak digitalnya tidak pernah ditemukan. (*)
Editor Ni’matul Faizah