Pertanyaan di atas rasanya tidak bisa seketika dijawab “ya” atau “tidak”. Mengingat perkembangan zaman yang terus bergerak dengan cepat, kita tidak mungkin tutup mata atas kehadiran dan peran AI. Pada akhirnya, kita pun akan menyadari pentingnya (atau malah sudah menggunakan) AI dalam kehidupan sehari-hari.
Nah, dalam konteks persoalan seputar agama, kita pun dapat menggunakan AI. Namun, perlu diingat selalu bahwa AI hanyalah alat. Bagaimana pun, kita harus melakukan filterisasi atas jawaban-jawaban yang disuguhkannya.
Saya juga pernah bertanya pada ChatGPT tentang apakah ia mampu menginterpretasikan teks-teks keagamaan. Berikut jawabannya.
ChatGPT mengaku bahwa ia bisa menjelaskan makna literal teks keagamaan berdasarkan sumber-sumber yang telah tersedia. Melalui hal ini, saya (lagi-lagi) mafhum bahwa ChatGPT adalah alat yang merangkum berbagai informasi ke dalam satu kesimpulan.
Oleh sebab itu, kita pun mestinya menyadari bahwa secanggih apa pun teknologi, sefuturistis apa pun sebuah era, transmisi keilmuan (terutama agama) tidak akan pernah bisa dikesampingkan.
KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari telah memberi teladan pada kita untuk berguru kepada orang-orang yang kredibel dan otoritatif. Kita tidak semestinya bergantung (atau malah menghamba) pada teknologi yang ada.
Sebagai anak muda dari kalangan NU, saya tidak menutup mata dan justru kagum dengan gagasan KH. Ahmad Dahlan terkait sekolah formal. Mengutip umsida.ac.id, beliau tidak setuju dengan dualisme antara pendidikan Islam di pesantren dengan pendidikan sekuler di sekolah (yang kala itu dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda).
Berkat gagasan beliaulah, kita hari ini dapat belajar agama di sekolah formal dengan kurikulum yang baku dan guru-guru yang kompeten. Jadi, secara tidak langsung gagasan KH. Ahmad Dahlan tersebut turut menjaga transmisi keilmuan (agama).
Dan, saya kira perkara ini penting untuk terus digaungkan supaya tidak muncul orang random yang memberikan ceramah agama dengan dasar fatwa ChatGPT semata.
Editor Zahra Putri Pratiwig