Oleh: Rozaq Akbar (Kepala Pengasuhan Santri Muhammadiyah Boarding School Porong Sidoarjo)
PWMU.CO – Di lingkungan pendidikan Muhammadiyah, ada sebuah yel-yel yang cukup menarik perhatian dari Forum Guru Muhammadiyah (FGM), yaitu “Walau gaji besar, tetap semangat.”
Kalimat ini terdengar sederhana, namun menyimpan makna yang mendalam dan sedikit ironi. Ada yang memaknai bahwa sebenarnya gaji guru Muhammadiyah bisa mencapai Rp10 juta, tetapi kenyataannya, yang diterima hanya Rp500.000 per bulan, sedangkan Rp9.500.000 lainnya dianggap “diinvestasikan” kepada Persyarikatan Muhammadiyah.
Ini menjadi simbol kesetiaan dan pengorbanan para guru yang tetap bersemangat meski imbalan materi yang mereka terima mungkin tidak sebesar yang dibayangkan.
Sekilas tampat sarkastik, gaji besar harusnya membuat guru semakin semangat tapi dalam kalimat tersebut seakan – akan mengkhawatirkan bahwa Ketika gaji besar maka tidak lagi semangat.
Namun, penting bagi kita untuk melihat yel-yel ini dari sudut pandang spiritual. Dalam al-Quran, ada sebuah kisah yang relevan, yaitu tentang pasukan Thalut dalam Surah al-Baqarah ayat 249.
Ketika pasukan Thalut menempuh perjalanan berat, mereka diuji bukan dengan kesulitan, melainkan dengan nikmat—air sungai yang segar. Thalut memberi perintah bahwa hanya yang mampu menahan diri dari minum air yang dapat menjadi pengikutnya, kecuali bagi yang hanya mengambil seteguk dengan tangan.
Ujian ini menggambarkan bahwa ketahanan dan kesabaran adalah kunci kemenangan bagi mereka yang benar-benar beriman.
فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوتُ بِالْجُنُودِ قَالَ إِنَّ اللهَ مُبْتَلِيكُمْ بِنَهَرٍ فَمَن شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَمَن لَّمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي إِلاَّ مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ فَشَرِبُوا مِنْهُ إِلاَّ قَلِيلاً مِّنْهُمْ فَلَمَّا جَاوَزَهُ هُوَ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ قَالُوا لاَ طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلاَقُوا اللهِ كَم مِّن فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللهِ وَاللهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata, ‘Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya, ia bukanlah pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menciduk seceduk tangan, maka ia adalah pengikutku’. Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyebrangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata, ‘Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya’. Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, ‘Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 249)
Dalam konteks pendidikan Muhammadiyah, kisah ini mengingatkan kita bahwa para guru telah melewati banyak ujian keterbatasan, baik dari segi materi maupun fasilitas.
Namun, seperti halnya pasukan Thalut yang diuji dengan kenikmatan sungai, tantangan sebenarnya muncul ketika kesejahteraan mulai datang. Kesuksesan dan kemakmuran bisa menjadi ujian yang lebih berat dibandingkan kesulitan.
Mengutip kata kunci dari ayat tersebut, “illa man ightarafa ghurfatan biyadihi,” artinya ketika kenikmatan datang, kita sebaiknya menikmatinya hanya secukupnya—sebagai seteguk, tidak lebih.
Jika terlalu sibuk menikmati kenyamanan, keberanian untuk berinovasi dan berjuang bisa hilang, membuat seseorang terlena dalam zona nyaman.
Ibarat seseorang yang berolahraga berat dan meminum terlalu banyak air saat beristirahat, tenaganya bisa melemah untuk melanjutkan olahraga.
Dalam bahasa Jawa, kondisi ini disebut nggelembosi, atau kehilangan semangat karena terlalu menikmati kenikmatan yang ada. Begitu pula seorang pejuang pendidikan yang diuji dengan kesejahteraan, jika ia terlalu nyaman dengan kenikmatan itu, semangat perjuangan bisa pudar.
Ayat tersebut mengingatkan kita bahwa kemenangan bukanlah soal jumlah atau materi, tetapi soal kesabaran dan kesetiaan. Guru Muhammadiyah diharapkan tetap semangat, bukan karena gaji besar, tetapi karena tanggung jawab mendidik generasi penerus bangsa dengan iman, ilmu, dan amal.
Semangat inilah yang harus terus dijaga, apapun kondisi yang dihadapi. Keikhlasan dalam mengemban amanah adalah kunci utama, sesuai dengan makna dari yel-yel “Walau gaji besar tetap semangat.”
Banyak orang yang bisa sabar dan bertahan Ketika diuji dengan keterbatasan materi, apalagi guru Muhamadiyah sudah banyak terbukti yang rela berkorban demi terwujudnya pendidikan berkualitas.
Jangankan gaji kecil, bahkan harta pribadinya tidak jarang katut untuk berjuang. Tapi justru ketika ujian dating berupa kesuksesan dan masa gemilang, belum tentu semua kuat menghadapi dan bersabar atasnya. Tapi barangsiapa yang bersabar pasti akan diersamai oelh Allah.
Dalam dunia pendidikan, ujian yang sesungguhnya bukan sekadar keterbatasan, tetapi bagaimana menjaga semangat dan keikhlasan dalam menghadapi kesuksesan dan kesejahteraan.
Semoga para guru Muhammadiyah selalu diberi kekuatan untuk tetap berjuang, dengan hati yang tulus dan semangat yang tak pernah surut.
Editor ‘Aalimah Qurrata A’yun