PWMU.CO – Untuk memudahkan komunikasi antara Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur dengan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) se-Jatim, pada 7 April 2016, saya buat WhatsApp Grup (WAG) PWM-PDM se-Jatim. Sambutan Anggota PDM luar biasa. Semua minta dimasukkan. Sayang, kuotanya hanya 256 orang, sehingga ada beberapa yang masih antri hingga sekarang. Jika ada yang keluar, langsung diganti anggota baru.
Pada 9 September 2016 lalu, terdapat perdebatan hangat di grup tersebut mengenai masalah keorganisasian dan keadministrasian. Dipicu oleh kritik Nurul Humaidi terkait surat undangan LIK (Lembaga Informasi dan Komunikasi) PWM Jatim yang menyertakan tanda tangan Ketua PWM, diskusi merembet ke masalah legalitas pembentukan lembaga dimaksud.
BACA Pemimpin Harus Semangat, Tak Boleh Suka Sambat
“LIK PWM Jatim tidak percaya diri, tidak mencukupkan tanda tangan ketua dan sekretaris lembaga. Atau karena tidak membaca ketentuan surat menyurat Persyarikatan?” komentar sekretaris PDM Kabupaten Malang tersebut.
Saya jelaskan, karena LIK sebagai unsur pembantu pimpinan (UPP) mengundang Pimpinan Persyarikatan (PDM) dan lintas Majelis/Lembaga, maka dirasa perlu menambahkan “Mengetahui Ketua PWM Jatim” sebagai bentuk afirmasi atas acara dimaksud bahwa Ketua PWM menyetujui. Sekaligus menunjukkan sikap tawadlu’ kepada PDM, mengingat LIK sebagai UPP tidak punya otoritas menghadirkan PDM, padahal acaranya sangat urgent.
Penjelasan saya langsung disanggah Arif AN, seraya menceritakan pengalaman pahit disalahkan seniornya gara-gara membuat surat Majelis dengan mengetahui Ketua Pimpinan Persyarikatan. “Saya disalahkan, dengan alasan tidak ada aturan dalam Muhammadiyah. Kalau mengundang antar-Majelis dan Lembaga tidak apa-apa asalkan Persyarikatan dikasih tembusan,” kata Sekretaris PDM Surabaya itu menirukan seniornya.
BACA JUGA Muhammadiyah dan Proses Perkaderan: antara Regulasi dan Diskresi
Saya tegaskan bahwa yang menyalahkan juga tidak punya dasar. Karena dalam organisasi, sesuatu yang tidak ada aturan atau belum diatur tidak otomatis berarti dilarang. Itu menyangkut masalah ijtihadiyah. Sedangkan mengenai tembusan, fungsinya sekadar untuk laporan, sama sekali tidak ada kaitan dengan persetujuan atau dukungan.
Selesai masalah surat menyurat, pembicaraan beralih pada legalitas pembentukan LIK. “Mohon maaf, di PDM Kabupaten Malang tidak ada LIK. Kami tidak membentuk LIK, tapi Majelis Pustaka dan Informasi (MPI), sesuai nomenklatur yang ditetapkan Pimpinan Pusat,” tulis Nurul bernada protes.
Protes senada disampaikan Arif. “Di PDM Surabaya juga tidak ada LIK. Karena kalau semua dibuat Ijtihadiyah, terus nomeklaturnya ikut sopo. Kenapa sih kok tidak sesuai dengan PP?”
Rupanya kawan-kawan tidak bisa membedakan masalah prinsip dan teknis administratif. Berulang kali saya tegaskan bahwa organisasi tidak boleh macet akibat hal-hal teknis adminitratif. Setiap ada masalah, harus dicarikan jalan keluarnya.
BACA JUGA Dulu Rasan-Rasan sambil Petan, Kini Ngrumpi via WhatsApp
Nah, berkenaan dengan pembentukan LIK, PWM Jatim mendasarkan pada pengalaman periode lalu. Selama seperiode, MPI macet sama sekali. Maka dengan pertimbangan supaya dalam periode ini bergerak lancar, diputuskan strukturnya dipisah menjadi dua, yakni Majelis Pustaka dan LIK. Penjelasan ini langsung disela Nurul. “Masalah Majelis/Lembaga itu berjalan atau tidak bukan bergantung pada nomenklatur, tapi pada orang yang ditunjuk untuk memimpinnya.”
Argumen Nurul mungkin benar. Namun dia lupa dengan doktrin yang selama ini diamini, bahwa organisasi sebesar Muhammadiyah tidak boleh tergantung hanya pada orang. Tapi perlu terus diikhtiarkan untuk membangun sistem. Nah, apa yang dilakukan PWM itu adalah ijtihad untuk menyempurnakan sistem dimaksud.
Bagi PDM tidak ada kewajiban melakukan hal yang sama. Jika memang tidak membentuk strukturnya, maka untuk memudahkan koordinasi program dengan wilayah, cukup melakukan adaptasi fungsi dari UPP dimaksud. Fungsi pustaka ikut Majelis Pustaka, dan fungsi informasi ikut LIK. Hal ini sama sekali tidak ada hal prinsip yang terlanggar. Jika dalam evaluasi nanti dinilai tidak efektif, bisa ditinjau ulang. Simple kan?
“Kami kira kalau membuat aturan yang tidak sesuai PP itu melanggar. Seperti yang dilakukan PWM Jatim dalam membentuk LIK & LDK (Lembaga Dakwah KhusuS). Saya umpamakan negara. Ketika Mendagri membuat aturan Linmas & Satpol PP, Walikota Surabaya saja masih mempertanyakan dulu ke pusat dan ijin boleh apa tidak,” sanggah Arif sembari menegaskan bahwa di PP sudah ada nomeklatur dan beberapa lembaga yang tidak boleh dibuat. Misalkan Majelis Tarjih hanya di PDM, di PCM tidak boleh.
Argumen Arif diamini Nurul. “Tentang unsur pembantu pimpinan (UPP) sudah diatur oleh PPM, temasuk nomenklaturnya. Pimpinan di bawahnya tinggal mengikuti saja. Mohon maaf, yang berbeda dengan itu, kami tidak mengikutinya. Seperti tertera dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) pasal 19. Kami hanya ingin taat ketentuan organisasi.”
Sanggahan Arif dan Nurul langsung disela Busiri. “Jangan terlalu kakulah, fleksibel gitu. Asalkan tujuan tercapai tanpa ada larangan yang dilanggar,” komentar Wakil Ketua PDM Bangkalan yang membidangi informasi tersebut.
Kepada Arif dan Nurul, saya tegaskan bahwa tidak harus begitu cara memaknainya. Bisa juga mengambil spirit dari kasus Muad bin Jabal ketika dialog dengan Nabi SAW jelang diutus ke Yaman. Intinya Nabi sangat menghargai ijtihad Muad ketika dihadapkan pada problem yang belum ada ketentuan hukumnya secara detail dalam al-Quran dan al-Hadits.
Lebih-lebih yang kita perdebatkan ini bukan masalah ibadah mahdlah, maka sangat didorong terus melakukan ijtihad atau diskresi dalam organisasi. Dengan diskresi itulah, gerakan ini menjadi hidup dan dinamis. Dan pada gilirannya, insyaallah akan mujadid-mujadid organisasi dan administrasi di lingkungan Muhammadiyah.
Saya juga mengapreasiasi argumen kawan-kawan yang kekeh pada ketentuan administratif itu. Hanya perlu diketahui bahwa organisasi ini tidak berada dalam ruang hampa, tapi dalam kehidupan yang penuh warna dan dinamika. Bahkan seperti diketahui, dinamika di lapangan kerap lebih cepat dibanding aturannya. Sehingga ijtihad atau diskresi itu memang diperlukan.
Dalam kasus pembentukan lembaga misalnya. Dalam ketentuan ART pasal 19, disebutkan bahwa Lembaga, hanya boleh dibentuk di tingkat wilayah. Tapi dalam kasus LPCR (Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting) PP mengharuskan untuk dibentuk hingga tingkat cabang. Itulah contoh dinamika kehidupan berorganisasi.
Saya merasa diskusi sore itu berlangsung serius dan bermanfaat. Setidaknya, sejenak bisa menghentikan semua postingan copy paste yang tidak perlu. Meski tidak semua anggota grup sejumlah 256 orang itu turut komentar, tapi terlihat semua menyimak dengan seksama. Sesekali ada yang menyela dengan kelucuan-kelucuan khas daerah. Mungkin dengan maksud untuk mendinginkan suasana. Seperti dilakukan Ketua dan Sekretaris PDM Jember, Kusno dan Hazmi.
“PDM Jember siap tugaskan LIK,” kata Kusno. “Hallo pak-bapak, tetangga sudah bagi-bagi kartu bahkan dipakai menaklukkan polisi di Arab Saudi, eiiii kita masih bahas legalisasi surat menyurat,” Hazmi menyela dengan canda ala Madura.
Menurut hemat saya, diskusi seperti ini sangat baik untuk menambah wawasan dan berlatih mengapresiasi perspektif lain. Tentu saja catatannya, tidak boleh menghakimi. Kita juga perlu belajar rileks dalam membahasnya. Sehingga melahirkan pikiran-pikiran jernih. Masalahnya, jarang ditemukan topik yang menarik untuk semua. []
Nadjib Hamid, Wakil Ketua PWM Jatim