Oleh : Imam Yudhianto SH SE SPd MM – Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Maospati, Magetan.
PWMU.CO – Dakwah adalah misi yang melampaui batas ruang dan waktu, menjadi panggilan universal bagi umat Islam untuk menyampaikan pesan rahmatan lil ‘alamin kepada seluruh umat manusia.
Dalam sejarah panjangnya, Islam di Nusantara berkembang melalui pendekatan kultural yang menghargai nilai-nilai lokal tanpa kehilangan esensi tauhid.
Muhammadiyah, sebagai gerakan Islam berkemajuan, memiliki tanggung jawab besar untuk menggelorakan dakwah kultural yang adaptif, progresif, dan relevan dengan tantangan zaman. Dakwah ini bukan sekadar penyampaian pesan verbal, tetapi juga transformasi sosial yang berakar pada nilai-nilai Islam dan berorientasi pada pembentukan peradaban yang adil serta berkeadaban.
Muhammadiyah memahami bahwa kekuatan dakwah bukan hanya pada argumen teologis, tetapi juga kemampuan membaurkan nilai-nilai Islam dalam budaya masyarakat. Allah SWT berfirman dalam al-Quran:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik”. (QS. An-Nahl: 125).
Ayat ini menjadi landasan metodologi dakwah kultural yang mengedepankan hikmah dan kesantunan. Dalam konteks Nusantara, Islam berkembang pesat karena mampu menyerap elemen-elemen lokal seperti seni, adat, dan bahasa tanpa mengorbankan prinsip-prinsip syariat. Muhammadiyah, sebagai bagian integral dari sejarah dakwah Islam di Indonesia, memiliki tanggung jawab untuk melanjutkan tradisi ini dengan pendekatan yang kontekstual dan berbasis ilmu pengetahuan.
Imam Syafi’i pernah berkata: “Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar akal mereka”.
Pesan ini mengajarkan pentingnya memahami konteks budaya dan psikologis masyarakat dalam berdakwah. Muhammadiyah, melalui dakwah kulturalnya, harus menjadi jembatan antara nilai-nilai Islam yang transenden dengan dinamika budaya lokal yang terus berkembang. Dalam era globalisasi dan dominasi teknologi digital, pendekatan kultural harus beradaptasi dengan ekosistem baru.
Dakwah Muhammadiyah tidak boleh terjebak dalam retorika normatif semata, tetapi harus masuk ke ruang-ruang budaya populer, memanfaatkan media digital, dan membangun narasi Islam yang inklusif dan memberdayakan. Namun, tantangan dakwah kultural tidaklah sederhana, Islam di Nusantara hari ini menghadapi ancaman polarisasi sosial, marginalisasi budaya lokal, dan reduksi nilai-nilai agama menjadi sekadar simbolisme.
Maka dari itu, Muhammadiyah harus hadir sebagai motor penggerak yang membangkitkan kembali budaya Islam yang dinamis, progresif, dan berkeadilan.
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman”. (HR. Muslim).
Hadits ini memberi landasan moral bahwa dakwah adalah upaya aktif untuk memperbaiki tatanan sosial, baik melalui tindakan nyata, pendidikan, maupun pengaruh budaya. Muhammadiyah, melalui dakwah kulturalnya harus mampu menghadirkan solusi konkret terhadap berbagai persoalan bangsa, mulai dari kemiskinan, ketimpangan sosial, hingga krisis identitas budaya. Dakwah tidak boleh sekadar menjadi retorika moral, tetapi harus menjadi energi perubahan sosial yang nyata.
Dalam upaya membangkitkan kembali kejayaan Islam di Nusantara, Muhammadiyah harus belajar dari sejarah. Para wali songo, misalnya, menggunakan pendekatan kultural untuk menyebarkan Islam melalui seni, tradisi lokal, dan interaksi sosial yang harmonis. Mereka tidak memaksakan Islam sebagai entitas asing, tetapi membingkainya sebagai bagian integral dari budaya Nusantara.
Muhammadiyah, dengan semangat pembaharuannya, harus mengambil pelajaran ini dan memformulasikan strategi dakwah kultural yang relevan dengan tantangan zaman.
Buya Hamka, seorang ulama besar Muhammadiyah, pernah berkata:
“Islam bukanlah agama yang lahir untuk meniadakan kebudayaan, tetapi untuk menyucikan kebudayaan.”
Pesan ini relevan dalam konteks dakwah kultural Muhammadiyah. Budaya lokal harus dilihat sebagai potensi, bukan ancaman. Seni, musik, tari, dan tradisi lokal lainnya dapat menjadi media dakwah yang efektif jika dikontekstualisasikan dengan nilai-nilai Islam. Misalnya, pengembangan seni Islami berbasis teknologi digital dapat menjadi jalan untuk menarik generasi muda yang hidup dalam era budaya visual.
Dakwah juga harus masuk ke platform-platform digital seperti media sosial, video streaming, serta podcast untuk menyampaikan pesan-pesan Islam secara kreatif dan menarik.
Muhammadiyah juga harus memperkuat peran pendidikan sebagai basis dakwah kultural. Kurikulum yang dikembangkan harus mengintegrasikan ilmu agama dengan kebudayaan lokal dan teknologi modern.
Guru dan pendakwah Muhammadiyah harus dibekali dengan kemampuan memahami konteks budaya masyarakat sekaligus penguasaan teknologi digital sebagai alat dakwah. Pendidikan ini harus menanamkan nilai-nilai toleransi, keadilan, dan cinta terhadap budaya lokal sebagai bagian dari identitas Islam Nusantara yang rahmatan lil ‘alamin.
Dalam dunia yang semakin plural dan kompleks, dakwah kultural Muhammadiyah harus menjadi pilar untuk merawat keberagaman dan membangun solidaritas sosial. Islam di Nusantara harus menjadi teladan dunia dalam menghadirkan agama sebagai solusi, bukan sumber konflik.
Melalui dakwah kultural yang berbasis nilai-nilai Islam dan budaya lokal, Muhammadiyah dapat menjadi pelopor gerakan pembaruan yang menginspirasi dunia. Dakwah ini adalah tugas sejarah untuk menjaga warisan Islam di Nusantara dan membawanya ke masa depan yang lebih gemilang.
Dengan menggelorakan dakwah kultural, Muhammadiyah tidak hanya memperkuat perannya sebagai gerakan Islam yang progresif, tetapi juga menjadi penjaga budaya dan kejayaan Islam di Nusantara. Dakwah ini adalah panggilan untuk merajut kembali harmoni sosial dan spiritual di tengah masyarakat yang beragam, menciptakan peradaban yang berakar pada nilai-nilai Islam, serta membawa pesan rahmatan lil ‘alamin kepada dunia. (*)
Editor Ni’matul Faizah