Adaptasi dengan Era Disrupsi
Pergeseran paradigma pendidikan ini tidak hanya menyentuh aspek teknis, tetapi juga epistemologi institusi pendidikan itu sendiri. Ki Hadjar Dewantara, dalam pemikiran visionernya, menempatkan keluarga, masyarakat, dan perguruan sebagai tripilar pendidikan.
Namun, salah satu pilar tersebut kini nyaris kehilangan relevansi, seiring sekolah dan kampus menjelma menjadi monumen birokrasi alih-alih lokomotif peradaban. Guru dan dosen, yang seharusnya menjadi arsitek perubahan, berisiko menjadi fosil akademik yang gagal beradaptasi dengan era disrupsi.
Pernyataan ini selaras dengan kritik Profesor Abdullah Shahab, yang menekankan bahwa perguruan tinggi adalah ruang untuk berguru, bukan sekadar pabrik penelitian yang terobsesi pada metrik seperti publikasi jurnal dan peringkat global. Obsesivitas terhadap world-class ranking sering kali melahirkan alienasi akademik, menjauhkan institusi pendidikan dari konteks sosial dan kulturalnya. Dalam kondisi ini, institusi pendidikan terancam kehilangan relevansi di hadapan masyarakat yang seharusnya menjadi mitra transformasi.
Pemikiran progresif Profesor Daniel Muhammad Rosyid menyoroti urgensi rekonstruksi paradigma pendidikan. Ia menyatakan bahwa “schools are soon to be outdated.” Institusi sekolah, yang awalnya dirancang untuk mendukung Revolusi Industri, kini lebih sering menjadi mekanisme reproduksi buruh terampil yang patuh kepada kapital.
Paradigma baru diperlukan, di mana proses pembelajaran tidak lagi terkungkung dalam institusi formal, melainkan tersebar dalam ruang-ruang alternatif seperti PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) dan model pembelajaran berbasis komunitas.
Dalam konteks ini, kita dapat mengambil inspirasi dari sabda Rasulullah Saw “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Hadis ini tidak hanya berbicara tentang transfer ilmu, tetapi juga esensi pendidikan sebagai perjalanan spiritual yang membangun karakter manusia seutuhnya. Guru bukan sekadar pengajar, tetapi juga penggerak perubahan moral dan sosial.
Pendidikan di Indonesia membutuhkan reposisi yang radikal. Menteri Pendidikan Abdul Mu’thi menekankan pentingnya otonomi profesional guru sebagai salah satu kunci untuk menciptakan pendidikan yang berkeadilan.
Ia mengatakan, “Guru adalah pusat pembelajaran, bukan operator kurikulum. Mereka membutuhkan ruang untuk berinovasi dan mendidik dengan pendekatan yang sesuai dengan konteks lokal.” Dalam hal ini, teknologi harus menjadi alat bantu, bukan pengganti.
Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang jika bekerja, ia melakukannya dengan itqan (kesungguhan).” (HR. Baihaqi).
Hadis ini mengingatkan bahwa profesionalisme adalah bagian integral dari pendidikan. Guru yang diberdayakan mampu mendidik dengan penuh dedikasi, menciptakan generasi yang tidak hanya terampil, tetapi juga berkarakter.