Silogisme Helm
Di tengah kemelut itu, silogisme sederhana dari Pak AR Fachrudin melesat keluar. Pak AR menganalogikan penerimaan Pancasila layaknya kita memakai helm saat berkendara di jalan raya. Sebuah perilaku yang konvensional dan normatif. Namun sesungguhnya fleksibel, yaitu ketika di jalan kita pakai, setelah sampai di tujuan kita lepas.
Sedang konteks penggunaan helm akan timbul dua variabel motif. Pertama, sebagai kewajiban agar terhindar dari sanksi pelanggaran atas aturan yang berlaku. Kedua, sebagai kebutuhan agar selamat dan terhindar dari berbagai hal-hal yang tidak diinginkan.
Sama-sama berasal dari Yogyakarta, Pak AR paham akan suasana psikologi kebatinan Presiden Soeharto (Pak Harto) — yang direpresentasikan sebagai sosok Raja Jawa. Maka cukup tepat saat bernegosiasi terkait asas Pancasila itu menggunakan terminologi helm. Tanpa perlu banyak argumen yang berpotensi menaikkan tensi Pak Harto. Dengan selera humornya yang tinggi, unggah-ungguh yang santun serta kebijaksanaan, Pak AR mencoba berdialog dengan Pak Harto terkait asas Pancasila.
Dialog pertama dan kedua belum menemui sasaran yang pas. Pada dialog ketiga kalinya, Pak AR bertanya kepada Pak Harto secara lebih leluasa.
“Pak Harto apa orang menerima Pancasila itu seperi orang memakai helm?”, tanya Pak AR. Kemudian Pak Harto pun menjawab secara singkat, “Kira-kira seperti itu”.
Secara eksplisit Pak Harto membenarkan pernyataan Pak AR. Polemik tentang asas Pancasila yang pelik pun selesai dengan cara efektif. Finalnya pada tahun 1985 ketika perhelatan Muktamar Muhammadiyah ke-41 terselenggara di Kota Solo.
Pak AR yang pribadi yang humble itu telah melakukan teknik diplomasi Tingkat tinggi dengan argumen minimalis (qolla wa dalla). Argumentasi dari lisan orang bertaqwa, autentik, dan mukhlis. Negosiasi semacam ini sulit dicarikan ekivalen maupun linearnya dalam konteks sekarang. Era yang penuh dengan resonansi emosional (bahkan kebencian) ketika seseorang berusaha mengkritisi kebijakan pemerintah.
Menurut hemat saya, Pak AR dengan sikap akomodatifnya berusaha merealisasikan strategi nomor 24 dari 36 strategi perang Cina kuno Jia dao fa guo. Memperoleh lintasan yang aman untuk menaklukkan Kerajaan Guo. Atau bisa jadi malah menerapkan strategi no 1, Man tian guo hai, mengecoh langit untuk menyeberangi lautan.
“Pak AR, helm dan Pancasila” telah menggiring memori saya ketika belajar mantiq (logika) dalam kitab Sulam al-Munauroq sebagai teks dasarnya. Ketika menguraikan bab Fi al-Qiyas (silogisme) Syaikh Abdurrahman Al-Akhdzari berkata, “fawajibun dirajuha fi al-kubro wama min al-muqoddimati sughro” (muqodimah sughra dan beberapa muqodimah lain, maka had kecilnya wajib termuat dalam batasan tengah muqadimah kubra).
Pada gilirannya, bait ini memuat beberapa istilah, muqadimah sughra (premis minor), muqadimah kubra (premis mayor) dan natijah (konklusi). Jika meformulasikan dalam konteks Pak AR, akan timbul beberapa premis. Satu; Pemerintah mewajibkan asas tunggal Pancasila. Dua; Pak AR menganalogikannya dengan memakai helm. Maka sebagai konklusi, menggunakan Pancasila tak ubahnya memakai helm. Wallahu a’lam bish Shawab.
Editor Notonegoro