Memulai revitalisasi harus dengan melakukan otokritik. Banyak institusi Muhammadiyah yang terjebak dalam zona nyaman, mengulang rutinitas tanpa inovasi yang berarti. Spirit pembaruan yang menjadi nafas gerakan seperti mati suri. Kondisi ini perlu melakukan upaya serius untuk menghidupkan kembali. Kiai Dahlan mengatakan bahwa Islam adalah agama amal, bukan hanya agama wacana. Maka kader Muhammadiyah harus melibatkan diri secara aktif dalam menjawab persoalan umat. Baik menyangkut persoalan kemiskinan, kesenjangan sosial, atau juga krisis lingkungan.
Lebih dari itu, kader Muhammadiyah juga harus menjadi pelopor gerakan sosial yang berpihak kepada kaum lemah. Dalam setiap nafas perjuangan Muhammadiyah, spirit al-Ma’un harus tetap menyala. Surah al-Ma’un ini tidak sekedar memantik kepedulian individual, tetapi juga menuntut transformasi sosial untuk melawan struktur penindasan.
Prof Yunahar Ilyas pernah menegaskan bahwa Muhammadiyah harus tetap relevan dengan penderitaan rakyat. Kader Muhammadiyah harus memperjuangkan kebijakan-kebijakan publik yang inklusif dan berkeadilan, baik melalui jalur advokasi, pendidikan, maupun pemberdayaan masyarakat.
Revitalisasi ini juga memerlukan penguatan spiritualitas. Tanpa hubungan yang kokoh dengan Allah, setiap aktivitas sosial akan kehilangan maknanya. Kiai Dahlan mengajarkan bahwa hubungan vertikal dengan Allah (habl min al-Lah)adalah inti dari setiap gerakan horizontal (habl min annas)dalam kehidupan sosial. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,” demikian firman Allah dalam QS ar-Ra’d ayat 11.
Dalam konteks kebangsaan, kader Muhammadiyah harus menjadi perekat persatuan. Saat ini keutuhan bangsa sedang terancam oleh adanya polarisasi sosial dan politik. Maka Muhammadiyah dengan prinsip wasathiyah (moderat) harus dipegang teguh, karena memiliki potensi besar untuk menjadi jembatan di tengah perbedaan. Dalam pandangan Prof Amien Rais, kader Muhammadiyah harus menjadi penjaga moral bangsa dan tidak terjebak dalam konflik sektarian Selalu berpihak pada kepentingan bangsa dan negara.
Persoalannya, harapan besar ini tidak akan tercapai tanpa pembenahan sistem kaderisasi yang lebih progresif. Kader Muhammadiyah harus mempersiapkan diri menghadapi tantangan zaman. Baik melalui pendidikan formal maupun pelatihan intensif yang berfokus pada pengembangan karakter, keterampilan kepemimpinan, maupun pemahaman ideologi yang mendalam. Leadership training, digital literacy, dan penguasaan teknologi harus menjadi bagian integral dari proses kaderisasi. Dalam dunia yang semakin kompleks, kader Muhammadiyah harus mampu menjadi problem solver, bukan sekadar pengamat pasif.
Revitalisasi karakteristik kader Muhammadiyah merupakan panggilan besar untuk kembali meneguhkan misi gerakan ini sebagai pelopor, pelangsung, dan penyempurna perjuangan Islam. Ini adalah tugas yang membutuhkan keberanian, visi, dan ketekunan. Kader Muhammadiyah tidak hanya dituntut untuk menjadi individu yang saleh secara personal, tetapi juga mampu membangun sistem yang membawa rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin). Semoga Muhammadiyah akan terus relevan dalam menjawab tantangan zaman, menjadi cahaya peradaban yang menerangi dunia, dan mengantarkan umat menuju kejayaan yang hakiki.
Editor Notonegoro