Pendidikan humanis bukan sekadar jargon filosofis, melainkan jalan panjang menuju pembentukan manusia seutuhnya (insan kamil). (Imam Yudhianto/PWMU.CO).
Oleh Imam Yudhianto S SH SE MM (Sekretaris Majelis Hukum dan HAM PDM Magetan).
PWMU.CO – Dalam gemuruh zaman yang ditandai oleh revolusi teknologi dan dinamika globalisasi, pertanyaan mendasar mencuat: ke mana arah pendidikan kita akan melangkah?
Di tengah bayang-bayang angka statistik dan tabel kompetensi, pendidikan kerap kehilangan substansinya sebagai wahana pembebasan. Muhammadiyah, sebagai salah satu pilar utama pergerakan Islam modern di Indonesia, menghadapi tantangan besar untuk menegaskan kembali visinya.
Pendidikan Muhammadiyah harus melampaui sekadar transfer ilmu; ia harus menjadi medan transformasi kemanusiaan. Inilah urgensi untuk memperkuat basis pendidikan humanis yang menjadikan siswa tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara moral, spiritual, dan emosional.
Bukan Hanya Jargon Filosofis
Pendidikan humanis bukan sekadar jargon filosofis, melainkan jalan panjang menuju pembentukan manusia seutuhnya (insan kamil). KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, menanamkan nilai ini ketika mendirikan lembaga pendidikan yang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga membimbing akhlak peserta didik.
“Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah” demikian petuah beliau, yang sarat makna bahwa pendidikan adalah dedikasi untuk kemajuan umat.
Dalam pandangan beliau, esensi pendidikan adalah pembebasan dari kebodohan, kemiskinan, dan penindasan. Hal ini sebagaimana diilhami oleh surah Al-Ma’un yang menjadi landasan gerakan ini.
Namun, di era modern, visi pendidikan berbasis humanis Muhammadiyah menghadapi tantangan struktural dan kultural. Paradigma pendidikan kita terlalu sering terjebak dalam mekanisme input-output, di mana kesuksesan diukur semata melalui nilai ujian dan akreditasi.
Dalam kerangka ini, peserta didik dipandang sebagai obyek yang harus diolah sesuai standar, bukan sebagai subyek dengan potensi unik yang harus dikembangkan.
Paulo Freire, filsuf pendidikan terkemuka, mengkritik pendekatan ini sebagai banking education, di mana siswa diperlakukan seperti tabungan pengetahuan tanpa diberi ruang untuk berpikir kritis dan kreatif. Muhammadiyah, dengan prinsip tajdid (pembaruan) yang menjadi napas perjuangannya, harus mampu menawarkan alternatif yang lebih bermakna.
Pendidikan berbasis humanis adalah jalan untuk mengembalikan pendidikan kepada misi utamanya, yaitu menciptakan manusia yang berdaya, bermoral, dan berkeadilan. Dalam Islam, konsep ini tercermin dalam firman Allah:
“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam.” (QS. Al-Isra’: 70).
Memuliakan manusia berarti memastikan bahwa setiap individu memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensinya secara utuh. Muhammadiyah harus menjadi pelopor pendidikan yang menghargai keunikan setiap peserta didik, mendorong mereka untuk berpikir mandiri, dan membangun kepedulian terhadap sesama.
3 Pilar Penguatan Humanisme
Dalam konteks ini, penguatan nilai humanisme dalam pendidikan Muhammadiyah harus berakar pada tiga pilar utama: spiritual depth, intellectual rigour, dan social empathy.
Pilar pertama, yaitu spiritual depth, berarti pendidikan yang tidak hanya menanamkan nilai-nilai agama sebagai ritual, tetapi juga sebagai dasar pembentukan karakter.
“Agama adalah ilmu yang hidup” kata Prof. Syafii Maarif, tokoh Muhammadiyah, yang menegaskan bahwa agama harus menjadi sumber kebijaksanaan dalam menghadapi kompleksitas kehidupan.
Pilar kedua, intellectual rigour, menuntut Muhammadiyah untuk mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu dunia secara harmonis.
Dalam pandangan Prof Haedar Nashir, pendidikan Muhammadiyah harus menghasilkan lulusan yang tidak hanya ahli dalam ilmu pengetahuan, tetapi juga mampu memanfaatkannya untuk kemaslahatan umat. Ini berarti pendidikan harus dirancang untuk melahirkan individu yang berpikir kritis, kreatif, dan inovatif, dengan tetap menjunjung tinggi etika.
Pilar ketiga adalah social empathy, menekankan pentingnya membangun kepedulian sosial melalui pendidikan.
Dalam kerangka ini, Muhammadiyah harus memastikan bahwa lembaga pendidikannya tidak hanya mencetak individu sukses secara pribadi, tetapi juga kontributor aktif dalam masyarakat.
Kyai Dahlan mengajarkan bahwa pendidikan harus melahirkan jiwa-jiwa yang peka terhadap penderitaan orang lain, sebagaimana tercermin dalam spirit Al-Ma’un.
Namun, penguatan pendidikan berbasis humanis ini tidak akan terwujud tanpa reformasi sistemik. Muhammadiyah harus merevolusi kurikulum, metode pengajaran, dan sistem evaluasi untuk memastikan bahwa setiap siswa mendapatkan pendidikan yang memanusiakan.
Teknologi Bukan Pengganti Interaksi Manusia
Dalam konteks teknologi, Muhammadiyah harus mampu memanfaatkan kecerdasan buatan (artificial intelligence), big data, dan platform digital untuk mendukung proses pembelajaran. Teknologi tidak boleh menjadi pengganti interaksi manusia, tetapi alat untuk memperkaya pengalaman belajar.
Di sisi lain, peran guru sebagai role model dalam pendidikan humanis tidak dapat diabaikan. Guru Muhammadiyah harus menjadi figur yang tidak hanya menguasai ilmu, tetapi juga mampu menginspirasi dan membimbing siswa dengan kasih sayang.
“Guru adalah pelita yang menerangi jalan gelap,” demikian kata Prof. Yunahar Ilyas, tokoh Muhammadiyah yang selalu menekankan pentingnya keteladanan dalam pendidikan.
Muhammadiyah juga harus memperkuat kemitraan dengan keluarga dan masyarakat. Pendidikan berbasis humanis membutuhkan sinergi antara sekolah, keluarga, dan lingkungan sosial. Dalam hal ini, Muhammadiyah dapat mengambil inspirasi dari konsep learning society, di mana pembelajaran tidak hanya terjadi di dalam kelas, tetapi juga di setiap aspek kehidupan.
Pendidikan berbasis humanis yang diperkuat oleh Muhammadiyah bukan hanya solusi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, tetapi juga jalan menuju transformasi sosial yang lebih luas.
Dengan membangun individu yang cerdas dan berakhlak mulia, Muhammadiyah akan menciptakan generasi yang mampu menghadapi tantangan zaman dengan penuh percaya diri. Generasi ini tidak hanya akan menjadi pemimpin di bidangnya, tetapi juga agen perubahan yang membawa rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin).
Akhirnya, revitalisasi pendidikan Muhammadiyah yang berbasis humanis adalah investasi jangka panjang untuk masa depan bangsa. Dengan menghidupkan kembali nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh Kyai Dahlan, Muhammadiyah dapat menjadi mercusuar yang menerangi jalan menuju peradaban Islam yang berkemajuan.
Inilah tantangan dan peluang besar bagi Muhammadiyah untuk kembali menegaskan perannya sebagai lokomotif perubahan, yang tidak hanya membangun generasi cerdas, tetapi juga manusia-manusia yang peduli, berintegritas, dan bermartabat.
Editor Danar Trivasya Fikri