Oleh: M Ainul Yaqin Ahsan – Pimpinan Ranting Muhammadiyah Kadungrembug, Lamongan.
PWMU.CO – Kasus yang belakangan ini viral yakni adab seorang “Gus” terhadap penjual es teh, yang dikritik secara masif. Kini hal tersebut bukan hanya menarik perhatian publik, tetapi juga membuka berbagai isu yang lebih mendalam.
Kasus tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak kasus yang membuka ruang diskusi tentang mentalitas pemberi dan penerima di era media sosial saat ini, serta dampaknya terhadap persepsi masyarakat.
Di balik kontroversi tersebut, terdapat pelajaran berharga tentang bagaimana sikap mental, etika, dan budaya “saling membantu” seharusnya dibangun secara bijak.
Etika Berbicara di Depan Publik
Sebagai pembuka, peristiwa ini menunjukkan pentingnya etika dalam berbicara, terutama di forum publik seperti pengajian. Ketika seseorang menggunakan kata-kata yang menyinggung secara langsung, terlepas dari niatnya, dampaknya bisa sangat luas. Dalam kasus ini, kata kasar yang digunakan menimbulkan persepsi negatif. Secara syariat, perbedaan pendapat memang lazim terjadi, tetapi etika berbicara adalah aspek universal yang melampaui perdebatan hukum Islam.
Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menekankan pentingnya menjaga lisan agar tidak melukai orang lain, terutama dalam majelis ilmu. Bahkan Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam” (Shahih Al-Bukhari No. 5671 dan Shahih Muslim No. 67). Hal ini relevan karena kata-kata kasar yang mungkin dimaksudkan untuk guyonan sering kali berbalik menjadi kontra-produktif. Apalagi jika melibatkan perasaan individu tertentu secara langsung dan di depan umum.
Mentalitas Penerima: Harapan atau Ketergantungan
Kasus penjual es teh ini mencerminkan mentalitas penerima bantuan yang mulai terbentuk di sebagian masyarakat. Fenomena ini bukanlah hal baru, sebab dalam beberapa tahun terakhir, media sosial telah mempopulerkan konten-konten yang menunjukkan aksi membantu individu yang mengalami kesulitan. Meskipun niatnya baik, pola ini telah menciptakan persepsi bahwa bantuan adalah sesuatu yang dapat diharapkan secara otomatis, bahkan menjadi hak.
Seorang pakar sosiologi, Zygmunt Bauman, dalam bukunya Liquid Modernity, menjelaskan bagaimana masyarakat modern sering kali tergoda oleh solusi instan dan bantuan karitatif. Namun, ketergantungan pada bantuan tanpa adanya upaya mandiri hanya akan memperparah masalah. Ketika seseorang lebih banyak menunggu bantuan daripada berusaha mengatasi masalahnya sendiri, mentalitas yang terbentuk bukanlah mentalitas mandiri, melainkan ketergantungan.
Data dari Global Giving Index 2023 menunjukkan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara paling dermawan di dunia. Namun, tingkat kemandirian ekonomi masyarakat masih menjadi tantangan besar, dengan angka kemiskinan mencapai 9,36 persen pada Maret 2023 menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Hal ini mencerminkan adanya kesenjangan antara semangat berbagi dan keberhasilan menciptakan dampak jangka panjang yang berkelanjutan.
Konten Kreator dan Eksploitasi Kemiskinan
Tidak bisa dipungkiri, media sosial memainkan peran penting dalam membentuk persepsi publik terhadap aksi memberi bantuan. Banyak konten kreator yang menjadikan aksi membantu orang sebagai bagian dari strategi branding mereka. Ini tidak salah, tetapi dampaknya harus dipertimbangkan. Ketika pemberian bantuan direkam dan disebarkan, hal itu menciptakan ekspektasi bahwa bantuan adalah sesuatu yang dapat diminta secara terbuka.
Fenomena ini serupa dengan apa yang dijelaskan oleh seorang sosiolog, Pierre Bourdieu tentang modal sosial. Ketika aksi bantuan menjadi tontonan, ia sering kali lebih berfungsi sebagai alat untuk memperkuat posisi sosial pemberi, daripada benar-benar memberdayakan penerima. Dalam jangka panjang, masyarakat penerima justru merasa “berhak” atas bantuan, bukan terdorong untuk berusaha mandiri.