Oleh: Imam Yudhianto SH MM (Sekretaris Majelis Hukum dan HAM PDM Magetan)
PWMU.CO – Demokrasi dan supremasi hukum adalah dua pilar utama yang menopang bangunan negara modern. Namun, keduanya sering terjebak dalam paradoks antara idealisme yang diagungkan dan realitas yang membumi.
Demokrasi yang kerap dimaknai sebagai government by the people, for the people, and of the people perlahan tereduksi menjadi mekanisme formal belaka. Alih-alih menjadi ruang partisipasi substantif, demokrasi Indonesia justru kian didominasi oligarki, menjadikan rakyat sekadar objek politik tanpa kedaulatan nyata. Sementara itu, supremasi hukum (rule of law), yang seharusnya menjadi instrumen keadilan, justru seringkali tunduk pada kepentingan elite, kehilangan dimensi moralnya, dan terperangkap dalam praktik legal formalism yang kaku.
Di tengah kondisi ini, Muhammadiyah hadir sebagai penyeimbang moral bangsa. Sebagai persyarikatan berbasis Islam yang progresif, Muhammadiyah memegang teguh prinsip amar ma’ruf nahi munkar yang diwariskan KH. Ahmad Dahlan.
Prinsip ini tidak hanya menjadi pegangan spiritual, tetapi juga inspirasi dalam mewujudkan keadilan sosial di tengah arus liberalisme dan materialisme yang merongrong bangsa. Dalam konteks demokrasi, Muhammadiyah memandang bahwa demokrasi sejati tidak cukup hanya dengan prosedur elektoral, tetapi harus dibangun di atas fondasi keadilan substantif yang inklusif.
Prof Amien Rais, salah satu tokoh besar Muhammadiyah, dalam berbagai pidatonya mengingatkan ancaman state capture oleh elite politik dan ekonomi. Demokrasi yang dikuasai oleh segelintir pemilik modal hanya akan melahirkan kebijakan yang menguntungkan minoritas, sementara mayoritas rakyat menjadi korban.
Oleh karena itu, demokrasi deliberatif (deliberative democracy), yang menekankan dialog dan partisipasi bermakna, harus menjadi narasi utama perjuangan Muhammadiyah dalam mendesain ulang demokrasi Indonesia. Demokrasi semacam ini tidak hanya membuka ruang diskusi, tetapi juga menjamin keterlibatan rakyat dalam proses pengambilan keputusan secara transparan dan bertanggung jawab.
Di sisi lain, penegakan hukum di Indonesia menghadapi tantangan serius. Seperti yang dikemukakan oleh Dr Satjipto Rahardjo, hukum tidak boleh hanya menjadi perangkat normatif yang steril dari realitas sosial.
Hukum yang gagal memahami konteks masyarakat hanya akan menjadi alat hegemonik yang melanggengkan ketimpangan. Muhammadiyah, melalui pendekatan humanizing the law, berkomitmen untuk menjadikan hukum sebagai mekanisme pemberdayaan, bukan sekadar alat kontrol. Dalam pidatonya, Dr. Haedar Nashir menegaskan bahwa hukum harus memiliki sifat responsif, menyesuaikan diri dengan dinamika sosial tanpa kehilangan orientasi keadilan.
Prinsip keadilan ini telah lama menjadi fondasi utama dalam tradisi hukum Islam. Ibn Khaldun, dalam Muqaddimah, mengingatkan bahwa sebuah peradaban hanya akan bertahan jika keadilan ditegakkan, dan akan runtuh jika digantikan oleh kezaliman.
Pandangan ini sejalan dengan semangat Muhammadiyah yang menempatkan keadilan sebagai moral imperatif dalam setiap langkah perjuangannya. Di tengah maraknya kasus korupsi, pelemahan independensi lembaga peradilan, dan diskriminasi hukum, Muhammadiyah harus berdiri di garis depan untuk mendesak reformasi sistemik, memastikan akses keadilan, dan memperjuangkan supremasi hukum yang sejati.
Dalam demokrasi yang sehat, hukum berfungsi tidak hanya sebagai instrumen kontrol sosial, tetapi juga sebagai penjaga moralitas. Buya Syafii Maarif, seorang pemikir besar Muhammadiyah, menyatakan bahwa demokrasi sejati harus dibangun di atas dasar moralitas yang kokoh.
Hukum yang kehilangan dimensi moral akan kehilangan legitimasi sosialnya. Muhammadiyah, melalui pendekatan wasathiyah atau moderasi, memiliki potensi besar untuk menyatukan nilai-nilai keadilan substantif dengan mekanisme hukum modern. Dengan menjadikan rahmatan lil ‘alamin sebagai visi peradaban, Muhammadiyah menawarkan paradigma hukum yang tidak hanya adil, tetapi juga humanis.
Namun, perubahan tidak hanya memerlukan reformasi institusi, tetapi juga transformasi mentalitas. Demokrasi dan hukum tidak akan berfungsi jika mentalitas pemangku kekuasaan dan masyarakat masih terjebak dalam budaya korupsi, ketidakpedulian, dan pragmatisme.
Muhammadiyah memiliki tanggung jawab besar untuk memimpin perubahan ini, baik melalui pendidikan, dakwah, maupun gerakan sosial. Sebagaimana KH. Ahmad Dahlan menegaskan, “Hidup itu harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi orang lain.” Maka, perjuangan Muhammadiyah untuk membangun demokrasi dan hukum yang adil adalah manifestasi nyata dari ajaran ini.
Indonesia sebagai bangsa yang besar tidak boleh kehilangan arah di tengah derasnya tantangan global. Demokrasi dan hukum harus menjadi manifestasi dari nilai-nilai luhur bangsa, bukan sekadar alat untuk mempertahankan kekuasaan.
Muhammadiyah, dengan sejarah panjang perjuangan dan dedikasinya terhadap keadilan, memiliki peran strategis untuk memastikan bahwa masa depan Indonesia tidak hanya menjadi mimpi kosong, tetapi menjadi realitas yang berkeadaban. Dengan menjaga moralitas dan keadilan sebagai poros perjuangannya, Muhammadiyah menjadi penjaga utama jiwa bangsa ini.
Pada akhirnya, masa depan demokrasi dan hukum di Indonesia tidak hanya bergantung pada keberanian para pemimpin untuk bertindak, tetapi juga pada kesadaran masyarakat untuk tidak diam terhadap ketidakadilan.
Muhammadiyah, sebagai gerakan Islam yang berkemajuan, harus terus menjadi penerang di tengah gelapnya tirani, menawarkan solusi, dan memimpin jalan menuju bangsa yang benar-benar merdeka, adil, dan makmur. Sebab, seperti yang selalu diajarkan, perjuangan menegakkan keadilan adalah tugas suci yang tidak boleh ditunda. (*)
Editor Wildan Nanda Rahmatullah