UMM yang merupakan almamater saya dalam menempuh pendidikan di perguruan tinggi (1985-1990), sejak dulu tidak tabu untuk menerima mahasiswa yang berkeyakinan berbeda (nonmuslim.ed). Kita pun sebagai mahasiswa UMM tanpa perlu merasa canggung untuk berbaur dalam segala aktivitas. Bercanda, belajar hingga berdiskusi merupakan hal yang biasa di UMM.
Saat berinteraksi dengan sesame, Muhammadiyah mengajarkan kepada kita agar tidak menjadi manusia hipokrit atau munafik. Tapi kita didik untuk menjadi manusia yang berjiwa ikhlas lahir-batin, berpikiran positif, dan berjiwa besar serta berinteraksi sosial dengan senantiasa menjunjung tinggi akhlaqul karimah.
***
Kini bisa kita saksikan, kader-kader Muhammadiyah yang berpikiran luas dan jernih. Mereka tidak lagi melihat partai secara hitam putih, mereka relatif sangat cair dalam berpolitik. Ada Raja Juli Antoni — yang dulu kader Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) — di Partai Solidaritas Indonesia (PSI), ada Latifah yang berlabuh di Partai Demokrasi IIndonesia Perjuangan (PDIP), Budiman Sujatmiko yang di Partai Gerindra, Saleh Daulay di Partai Amanat Nasional (PAN), Dr Ma’mun Murod yang pernah di Partai Demokrat, juga Dahnil Anzar Simanjuntak di Gerindra dan masih banyak lagi.
Jika kita cermati, gagasan Pak Muhadjir di era 80an itu tidak bisa dipisahkan dari kedalamanya dalam memahami akar pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan saat menggagas berdirinya sebuah perkumpulan dari orang-orang tertindas oleh kolonialisme Belanda. Satu hal yang dicita-citakan Kyai Dahlan saat itu, yaitu kebebasan politik.
Namun gagasan untuk berkebebasan dalam berpolitik itu tidak diaktualisasikan secara vulgar sebagaimana Sarekat Islam yang didirikan oleh Haji Samanhudi. Kyai Dahlan akhirnya mendirikan Muhammadiyah dengan gerakan pembebasan terhadap masyarakat melalui jalur pendidikan dan kesehatan.
Pembebasan masyarakat melalui pendidikan ini, mengingatkan kembali terhadap pemimpin Uni Sovyet di akhir Perang Dingin, Mikhail Gorbachev yang melontarkan gagasan Glasnost.
Apa yang dilakukan oleh Kyai Dahlan saat itu bisa diilustrasikan sebagai Glasnost ala Muhammadiyah. Melalui pendidikan modern yang tidak mengedepankan system ortodoksi yang hanya mengutamakan keilmuan Islam klasik. Melalui pemikiran yang baru, Muhammadiyah sukses menyegarkan ajaran Islam berlandaskan Al-Quran dan Hadist dengan pendekatan yang lebih modern dan rasional. Pembacaan Muhammadiyah terhadap ajaran Islam tidak mengesampingkan realitas sosial yang ada
Contoh kecil Glasnost ala Muhammadiyah oleh Kyai Dahlan, misalnya cara berpakaian dengan memakai celana, jas, kemeja, dan juga bermain biola. Hal semacam itu tentu sangat tidak lazim dalam masyarakat kala itu. Format pendidikan modern yang berbentuk klasikal dan tampak lebih egaliter juga merupakan hal yang asing.
Bisa dimaklumi jika model pendidikan Muhammadiyah kala itu dianggap aneh. Saat itu praktik pendidikan masih bernuansa feodalisne. Siswa harus duduk beralas tikar di lantai, sedang guru duduk di atas kursi dan meja didepannya. Kyai Dahlan merubah kultur itu menjadi setara antara siswa dan guru. Murid dan guru sama-sama duduk di kursi didepannya ada meja di tembok depan ada papan tulis.
Sistem pengajaran hafalan juga dirubah menjadi pengertian dan pemahaman. Sehingga pesan-pesan dari sebuah kitab dapat dipahami, dan harus diaktualisasikan dalam bentuk tindakan, atau amal nyata.