Kyai Dahlan juga biasa berdialog dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh agama dari kalangan nonmuslim. Tidak heran jika kemudian Kyai Dahlan juga berkawan dengan kaum pendeta dan pastur. Hal ini memperlihatkan Kyai Dahlan tidak memusuhi agama atau kepercayaan lain. Kyai Dahlan menyadari bahwa beragamnya perbedaan dalam berkeyakinan merupakan realitas sosial yang tidak bisa dihindari. Bukankah Rasulullah sendiri juga mengakui realitas ada agama Nasrani dan Yahudi sehingga harus bisa hidup berdampingan? Jika secara realitas kini juga ada kekerasan dan konflik yang disandarkan pada agama, sesungguhnya tidak jauh dari soal pemahaman ‘tempurung otak’ semata.
***
Pendidikan Kyai Dahlan yang egaliter itu akhirnya mampu mengantarkan santri-santrinya untuk berada di berbagai dinamika kebangsaan. Keterbukaan Muhammadiyah pun sukses menjadikan kader-kadernya ada di mana-mana, dan bisa kemana-mana.
Di masa kemerdekaan, Muhammadiyah bahkan turut membidani lahirnya Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) untuk terlibat dalam dinamika politik nasional. Melalui Masyumi, Muhammadiyah secara tidak langsung juga pernah menjadi kekuatan oposisi terhadap pemerintahan Sukarno. Sukarno sendiri yang notabene warga Muhammadiyah justru lebih memilih membidani lahirnya Partai Nasional Indonesia (PNI).
Akhirnya, mengapa Muhammadiyah lebih memilih sebagai kekuatan civil cociety dan tidak menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi politik praktis dalam membangun peradaban manusia? Karena Muhammadiyah lebih memilih sebagai pemasok kaum pemikir atau intelektual untuk negeri ini. Puncaknya, pada tahun 1971 Muhammadiyah menyatakan keluar dari Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) pasca terjadinya kudeta politik oleh Jaelani Naro. Muhammadiyah pun memutuskan untuk kembali pada Khittah 1912.
Kembali pada Khittah 1912, artinya Muhammadiyah kembali ke jalur pencerdasan. Yaitu dengan melakukan gerakan pendidikan terhadap anak-anak bangsa. Agar anak0anak bangsa itu mencerahkan pikiran, hati dan qolbu.
Pada tahun 1973 tidak sedikit kader Muhammadiyah bergabung di Golongan Karya (Golkar), sebagian yang lain di Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hal ini memberikan pemahaman bahwa, pasca keluar dari keterlibatannya dalam politik praktis, Muhammadiyah justru lebih leluasa dalam mekonstruksi peradaban negerii ini. Dengan keluar kehidupan politik praktis, Muhammadiyah memilih berperan pada bidang pendidikan dan Kesehatan.
Jadi ketika Muhammadiyah menghantarkan kader-kadernya di semua lini kehidupan bangsa, maka inilah jalan patriotik dan nasionalisne Muhammadiyah.Kehadiran Muhammadiyah secara nyata lebih berarti dan bermakna untuk kehidupan bangsa Indonesia.
Editor Notonegoro