PWMU.CO – Dalam rubrik “Beranda”, majalah MATAN edisi perdana Agustus 2006 pernah menurunkan tulisan ini. Dengan sedikit editing, tulisan ini kembali dimuat pwmu.co untuk mengenang sosok sederhana ini, yang baru saja meninggal dunia Kamis malam (7/4/2016). Selamat membaca!
(Baca juga: H Abdul Mughni, Ayah Ketua PP Muhammadiyah Tutup Usia)
Mendidik anak itu sebenarnya tidak sulit. Sesuaikan saja dengan ajaran Islam. Meski di perjalanan muncul berbagai rintangan, Insya Allah berhasil dunia akhirat.
Ketika disodorkan sejumlah cara mendidik anak hasil penelitian para pakar pendidikan, H. Abdul Mughni hanya tersenyum. Bukan berarti menolak. Ia mengatakan bahwa apa yang telah ditemukan dan dikembangkan oleh para pakar pendidikan terlalu rumit. Padahal bisa disederhanakan kalau memahami dan meyakini bahwa Islam merupakan dasar dari seluruh aktifitas kehidupan.
Ia memang bukan pakar pendidikan. Bahkan semasa kecil ia hanya mengenyam pendidikan di pondok pesantren Tunggul, Paciran. Tidak lebih. Tetapi, dari caranya yang sangat sederhana dalam mendidik kelima anaknya, ternyata membuahkan hasil cukup gemilang. Anak keempat menjadi dokter spesialis. Anak kedua dan ketiga, menyelesaikan pascasarjana. Anak kelima sarjana teknik. Sedangkan anak pertamanya, dikukuhkan menjadi profesor pada usia muda, 40 tahun.
Abdul Mughni bukan orang kaya di kampungnya: Desa Paciran, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Namun ia tidak pernah merasa miskin. Baginya, berapa pun penghasilan seseorang, tidaklah menjadi ukuran utama kekayaan seseorang. “Penghasilan sejuta sehari bisa jadi masih sangat kurang. Padahal ada yang penghasilanya 50 ribu sehari, merasa cukup dan bersyukur,” ulasnya.
Orangnya kecil. Kulitnya sawo matang. Pakaiannya selalu rapih meski sangat sederhana. Bajunya selalu dimasukkan, bersabuk, berkopyah, dan bersandal jepit. Kalau di rumah selalu pakai sarung. Tutur katanya lembut, singkat, dan murah senyum. Lima tahun setelah menikah dengan gadis sekampungnya, Syarofah, ia mendirikan warung gule, di pasar Paciran (1955).
Warung itu buka lima hari sekali. Sesuai hari pasaran di Paciran, Wage. Dan hanya tiga jam, mulai pukul 13.00 wib. Dirasa tidak cukup untuk menghidupi keluarga, lima tahun kemudian ia mendirikan jagal kambing. Sehari menyembelih rata-rata 4 ekor. Empat tahun lalu, jagalnya dihentikan. Tinggal warungnya yang menjadi matapencaharian sampai sekarang. “Sudah tua. Anak-anak sudah kerja,” katanya singkat.
baca sambungan hal 2 …