PWMU.CO-Semula surat Al Maun sekadar menjadi hapalan saat mengaji tapi di tangan KH Ahmad Dahlan, dengan memahami makna surat itu akhirnya menjadi gerakan sosial yang mengubah peradaban Indonesia.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, Nadjib Hamid, dalam Seminar Budaya di Aula Mas Mansyur Jl. Kertomenanggal, Surabaya, Jumat (27/10/2017).
Nadjib Hamid menjelaskan, KH Ahmad Dahlan mengajarkan Al Maun berulang-ulang setiap hari hingga muridnya bosan. Suatu hari muridnya bertanya mengapa hanya Al Maun saja yang dipelajari, padahal banyak surat yang lainnya. Sang kiai pun menjawab sudahkah kamu memahami maknanya? Jawab muridnya, sudah. Sudahkan kamu mengamalkannya? Belum. Maka sekarang datangi pengemis dan gelandangan, mandikan mereka lalu beri pakaian dan makanan yang layak. ”Inilah yang namanya gerakan pembaharuan,” kata dia menandaskan.
Berawal dari inilah, sambung dia, KH Ahmad Dahlan membangun lembaga pendidikan, lembaga kesehatan, panti asuhan yang akhirnya meningkatkan peradaban masyarakat Indonesia.
Pembaharuan yang dilakukan Kiai Dahlan, katanya, juga cara mengajar yang menggunakan papan tulis dan berdasi yang pada zaman itu dianggap mengikuti kaum kafir hingga ada kiai lain menuduh sebagai kiai kafir. Pemikiran ”Kiai Dahlan semacam itu sudah melampaui zamannya dan pada akhirnya setahun berpuluh tahun baru diterima orang sekarang ini,” tandas Nadjib.
Pembaharuan Kiai Dahlan lainnya adalah meluruskan kiblat masjid. Kata Nadjib, waktu itu menggeser kiblat Masjid Kraton mendapat tentangan keras dari masyarakat sampai langgar Kiai Dahlan dibakar.
“Tapi sekarang setelah satu abad kemudian Kementerian Agama mendanai jutaan rupiah untuk meluruskan kiblat masjid. Inilah yang disebut pemikiran visioner yang dipunyai Muhammadiyah. Berpikir jauh ke depan, dakwah berkemajuan meskipun baru satu abad diterima masyarakat.
Kader Muhammadiyah, kata Nadjib, juga harus mampu berpikir visioner. Tidak hanya memahami apa yang tersurat namun juga mencari tahu berita di balik peristiwa. Jika hanya memahami yang tersurat saja, tidak bakal menemukan esensi peristiwa. (tanti puspitorini)