Oleh Labib Shalahuddin Alhaddad – Guru SD Muhammadiyah Mimika, Timika, Papua
PWMU.CO – Al-Qur’an dan Tafsir Al-Qur’an merupakan dua sisi yang berbeda. Al-Qur’an adalah kalamullah, sementara tafsirnya adalah hasil dari pemikiran manusia terhadap suatu kata, kalimat yang terdapat pada suatu teks. Namun apabila kata tafsir ini melekat dengan Al-Qur’an, maka tafsir ini berusaha membedah makna yang terkandung dalam Al-Qur’an pastinya sesuai dengan ilmu-ilmu khusus dalam penafsiran Al-Qur’an.
Kini yang menjadi keprihatinan umat Islam adalah banyak saudara kita — baik ustadz maupun penceramah — yang menafsirkan Al-Qur’an tidak sesuai kaidah tafsir atau tidak merujuk pada kitab tafsir yang ada, baik itu tafsir klasik maupun kontemporer. Mereka menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan kemauan dan kepentingan tertentu.
Para cendikiawan Muslim abad 20 menafsirkan Al-Qur’an menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Juga menyesuaikan dengan aliran-aliran modern dalam filsafat. Sebagian besar penafsiran metitik beratkan pada kajian mendalam pada makna yang terkandung dalam sebuah kata. Konsep ini menjurus pada sesuatu yang disebut “hermeneutika”.
Dalam sejarahnya hermeneutika berguna untuk menafsirkan Bible, namun seiring berkembangnya waktu muncul cendikiawan Muslim yang berpandangan bahwa hermeneutika juga bisa untuk menafsirkan Al-Qur’an. Menurutnya, agar makna dari pada Al-Qur’an bisa sesuai dengan perkembangan zaman.
Salah satu tokoh pemikir Islam yang menjadikan hermeneutika sebagai metode tafsir adalah Syeh Nasr Abdul Hamid Abu Zayd. Dia berusaha menafsirkan Al-Qur’an dari sisi kebahasaan dengan hermeneutic. Hal ini mendasarkan pada fokus keilmuannya yaitu bidang sastra. Seiring perkembangan zaman hermeneutika merupakan keniscayaan yang dapat diterapkan pada konteks masyarakat kekinian.
Dengan menggunakan hermeneutika — pendekatan, pemikiran, pemaknaan maupun interpretasi terhadap — teks-teks menjadi lebih dinamis, inklusif, dan relevan dengan perkembangan zaman. Secara umum hermeneutika oleh Nasr mengandung dua hal: pertama, berusaha menemukan makna asal dari teks dengan menempatkannya pada sosio historisnya. Dan kedua, mengklarifikasi sosio kultural yang mengarah kepada penafsiran. Nasr lebih berpusat pada teks, yakni makna teks yang terdapat pada teks itu sendiri. Konsep yang terkenal dalam hermeneutik yakni konsep triadik yang menitik beratkan pada author, teks dan pembaca.
Sebagai seorang muslim penting bagi kita untuk mengetahui warna warni dari penafsiran Al-Qur’an. Apakah itu Al-Qur’an ditafsirkan dengan menggunakan metode Ulumul Qur’an maupun dengan metode lain seperti hermeneutik. Meskipun dalam perjalanannya penggunaan hermeneutik mendapat pro dan kontra. Seorang cendekiawan muslim Indonesia, Prof Amin Abdullah menjelaskan bahwa salah seorang yang pertama kali memperkenalkan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an adalah Nasr Hamid Abu Zayd. Semula tokoh ini menyeru kepada umat Islam agar menafsirkan ulang Al-Qur’an agar sesuai dengan tuntutan zaman. Kemudian dia memperkenalkan hermeneutika sebagai metodenya.
Memperhatikan pemaparan diatas, penulis berpandangan bahwa (jika) hermeneutika hanya berfokus pada pencarian makna pada lafal yang terdapat dalam Al-Qur’an. Jika demikian maka tidak ada bedanya dengan metode yang terdapat dalam Ulumul Qur’an seperti ilmu Ghorib Al-Qur’an, I’rob Al-Qur’an, wujuh wa al-nadza’ir badi Al-Qur’an, I’jaz Al-Qur’an. Jika berlandaskan sisi historis maka Ulumul Qur’an pun telah menjawabnya dengan Asbabun Nuzul. Jika perbedaannya terletak pada hubungan atau keterkaitan antara author, teks dan pembaca, maka Ulumul Qur’an juga telah menjawabnya dari sisi yang lebih luas.
Artikel Darsitun pada sebuah jurnal dengan judul “Menakar ulang hermeneutika dalam studi Al-Qur’an di era modern dan kontemporer: pendekatan sastra, Sejarah, dan sains,” menyimpulkan bahwa hermeneutika dapat diumpamakan sebagai tongkat untuk orang buta. Hermeneutika sangat cocok untuk menafsirkan Bieble. Seperti halnya kebutuhan orang buta akan tongkat penuntunnya. Tapi pada mata atau penglihatannya sehat dan normal tentunya tidak membutuhkan tongkat. Karena Al-Qur’an masih terjaga orisinalitasnya, dan tidak ada persoalan di dalamnya karena Allah yang menjaganya. Wallahu a’lam. (*)
Editor Notonegoro