Oleh Muhsin MK – Penggiat Sosial
PWMU.CO – Masing-masing pribadi Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah tampak begitu menarik dan unik. Rata-rata mereka adalah pribadi yang memiliki karakter pekerja keras, sabar, ulet, tak kenal lelah dan bersungguh-sungguh dalam menggerakkan roda organisasi dengan baik.
Itulah karakter pimpinan Muhammadiyah. Andai pengurus Muhammadiyah tidak demikian, tentu sangat mustahil Muhammadiyah dapat bertumbuh-kembang dengan pesat, memiliki soliditas tinggi dan berkemajuan. Kaderisasi dan regenerasi pun pasti tidak mungkin berjalan baik dari waktu ke waktu. Faktanya Muhammadiyah bukan hanya berkembang jaringan dakwahnya di Indonesia, tetapi juga bisa mengglobal ke banyak negara.
Tulisan ini tidak untuk mengupas satu persatu sosok ketua Umum PP Muhammadiyah dari awal (KH Ahmad Dahlan) hingga yang sekarang (Prof Dr Haedar Nashir MSi). Tetapi memberi simpulan secara umum bahwa seorang tokoh Muhammadiyah itu merupakan orang yang serius atau bersungguh-sungguh di dalam memimpin persyarikatan. Mereka menjadikan Muhammadiyah dan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) terus tumbuh dan berkembang pesat.
Keseriusan mereka terlihat dalam beberapa aspek yang nyata dan real. Pertama, mereka serius pada saat memberikan sambutan dalam musyawarah organisasi. Terlihat dari materi yang disampaikan dan substansi pembicaraan mereka dihadapan musyawirin.
Tak ada kalimat senda-gurau, apalagi saat berada dalam forum yang membincangkan hal-hal serius. Juga pada saat menyampaikan gagasan, pandangan, pemikiran, penjelasan dan argumentasi lain dalam forum. Saat di luar forum tentu mereka bersikap berbeda. Saling bercanda dan berbincang santai menjadi hal yang biasa dan lumrah.
Kedua, pada saat memproses realisasi pembangunan AUM — misalnya pendirian Universitas Muhammadiyah Malaysia (UMAM) — dari mulai menyusun perencanaan hingga ground breaking, peletakan batu pertama, pembiayaan proyek, pelaksanaan pembangunan hingga launching, peresmiannya pun berlangsung dengan serius.
Ketiga, saat melakukan pelantikan pimpinan di semua tingkatan pimpinan Muhammadiyah, dilakukan dengan penuh khikmat dan sungguh-sungguh. Tak terlihat mereka yang memandang hanya formalitas dan berbisik-bisik saat berlangsungnya acara pelantikan dari awal hingga akhir. Pimpinan yang melantik maupun yang dilantik benar benar serius tanpa ada gemuruh tawa sampai acara pelantikan selesai.
Sersan ala Muhammadiyah
Suasana serius itu pun berubah menjadi rileks dan santai saat memasuki acara ramah-tamah. Senyum dan bahkan sesekali berselingan dengan tawa gembira tampak begitu bebasnya. Suasana pun terlihat santai.
Suasana yang tegang, tegas dan sunyi tentu tak tampak saat mereka (para tokoh pimpinan itu) memberikan ceramah dan tausiyah dalam suatu acara. Keseriusannya terkadang tak tersurat karena materi tausiyahnya di kerapkali berselingan dengan humor ceria. Justru gelak tawa yang renyah terkadang mengiringinya. Karena memang dalam ceramah dan tausiyah mereka bisa agak bebas berkelakar dengan santai, sehingga yang mendengarkannya menjadi senang dan berkesan.
Fenomena tersebut memberikan Kesimpulan bahwa tokoh pimpinan Muhammadiyah itu meski merupakan sosok-sosok yang serius dalam banyak hal, sebenarnya mereka juga bisa bersikap santai. Sikap “serius dan santai” atau “SerSan” ini tergantung pada situasi dan kondisi yang ada. Pada momentum yang mengharuskan mereka serius, maka haruslah bersikap serius. Sebaliknya, pada hal-hal yang sederhana dan ringan, serta penyelesaiannya relatif mudah maka mereka pun menyikapinya dengan santai.
Pak AR Fachruddin, misalnya, merupakan Ketua Umum PP Muhammadiyah yang terkenal berkarakter “SerSan”. Tantangan terbesar Pak AR saat menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah adalah berkaitan dengan persoalan “Azas Tunggal Pancasila”. Namun ternyata Pak AR mampu menghadapi masalah itu relatif dengan SerSan. Sedangkan terjadinya polarisasi pada lingkungan Persyarikatan masa itu antara yang mendukung dan menolak kebijakan Pak AR merupakan hal yang biasa.
Dalam situasi genting seperti itu, Pak AR dengan gaya khasnya mengemukakan analog yang menunjukkan bahwa beliau orang yang relatif SerSan. Analogi beliau, “Azas Tunggal Pancasila” itu ibarat pakai helm di jalan raya. Kalo lagi di jalan raya mau tidak mau helm harus dipakai”.
Artinya, Muhammadiyah yang tumbuh kembang di Indonesia harus bisa menghormati sikap dari pemerintah. Termasuk saat itu adanya keharusan semua organisasi, termasuk Muhammadiyah harus mengubah dasar organisasinya dari yang bukan berazas Pancasila dengan berazas Pancasila. Akhirnya Presiden Soeharto pun menghormati dan menghargai sikap serta keyakinan Muhammadiyah dalam gerakannya yang tidak menghilangkan kata Islam dalam anggaran dasarnya.
Karena itulah dalam Muktamar Muhammadiyah di Solo tahun 1985 berhasil merumuskan Anggaran Dasarnya dengan kalimat, “Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam amar makruf nahi munkar yang beraqidah Islam, bertujuan mewujudkan masyarakat utama berazas Pancasila“. Setelah tumbangnya rezim pemerintahan orde Baru, pada muktamar berikutnya Muhammadiyah kembali memakai azas Islam, tanpa merubah kalimat tentang beraqidah Islam”. Wallahu ‘alam.
Editor Notonegoro