Yang jelas, 2 perkara yang diakadi dalam akad nikah adalah badan perempuan, kemanfaatan (farji) dan juga kehalalan (menggaulinya) karena konsekuensi dari akad menuntut itu semua. Terdapat dua pendapat ulama mengenai makna ayat ini:
Pendapat 1
Al-Hasan, Mujahid, dan lainnya mengatakan bahwa makna ayat ini adalah kalian wajib menunaikan mahar perempuan yang telah kalian rasakan kemanfaatan dan kenikmatannya melalui persetubuhan dengan cara pernikahan yang benar.
Oleh sebab itu, apabila seseorang telah menyetubuhi istrinya meskipun hanya sekali, ia wajib membayar mahar secara sempurna sesuai dengan kadar yang disebutkan sewaktu akad. Namun apabila sewaktu akad jumlah mahar tidak disebutkan, ia wajib membayar mahar sesuai dengan adat kebiasaan (al-mahr al-mitsli).
Jika nikahnya tidak sah (nikah fasid), ia wajib membayar mahar sesuai dengan adat kebiasaan (al-mahr al-mitsli). Sabda Rasulullah, “Siapapun perempuan yang menikah tanpa seizin walinya, nikahnya tidak sah. Kemudian apabila dia sudah disetubuhi, dia mendapatkan mahar mitslinya, karena farjinya telah dinikmati“.
Menurut para ulama, ayat ini tidak boleh dipahami sebagai ayat yang menghalalkan nikah mut’ah, yaitu menikahi seorang perempuan dalam jangka waktu tertentu saia seperti dalam jangka waktu sehari, seminggu, atau sebulan. Alasannya adalah karena Rasulullah telah melarang dan mengharamkan praktik nikah mut’ah.
Selain itu, Allah juga berfirman, “Nikahilah mereka dengan izin orang tuanya” (an-Nisa’: 25). Yang dimaksud nikah dalam ayat ini adalah nikah secara syari’at dengan adanya wali dan dua saksi, sedangkan nikah mut’ah tidak memenuhi syarat syarat tersebut.
AI-Alusi berpendapat pernyataan mengenai turunnya ayat tentang nikah mut’ah dianggap salah karena sistem atau aturan al-Quran yang bertolak belakang dengannya, sebagaimana Allah menjelaskan keharaman menikahi seorang perempuan, kemudian diperbolehkannya menikah sesuai syari’at sebagaimana firman Allah (wa uhillu lakum) dan di dalamnya mengandung syarat sesuai kebutuhan makna, maka dianggap tidak sah (batal) penghalalan farji seorang perempuan dan meminjamkannya.
Pendapat 2
Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa yang dimaksud nikah mut’ah adalah yang dibolehkan pada masa awal Islam. Pada awalnya, nikah mut’ah adalah praktik nikah yang dibolehkan. Rasulullah pernah memberi izin sekali atau dua kali untuk melakukannya dalam keadaan perang, karena dalam kondisi ini menjadikan pasukan muslimin berada jauh dari istri-istri mereka.
Rasul membolehkannya karena khawatir terjadi perzinaan. Keputusan ini merupakan keputusan memilih mudharat yang lebih ringan di antara dua mudharat yang mungkin terjadi. Bolehnya nikah mut’ah ini juga didasarkan kepada belum adanya larangan pada masa awal-awal Islam.
Hal ini terjadi pada Peperangan Authas dan pada waktu pembebasan Makkah. Kemudian setelah itu, Rasulullah mengharamkan praktik nikah mut’ah dan keputusan ini adalah keputusan yang paten. Dalilnya adalah firman Allah, “Dan orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka tidak tercela” (al-Mu’minun: 5-6)
Adapun mut’ah bukanlah bersetubuh dengan istri maupun budak yang di benarkan secara syari’at. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dari Ali bin Abi Thalib berkata, “Rasulullah melarang praktik mut’ah“, kemudian Ali berkata, “Mut’ah dulu dibolehkan untuk orang yang tidak mampu. Namun setelah turun aturan nikah, talak iddah dan waris bagi suami dan istri, kebolehan nikah mut’ah dihapus.”
Dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan bahwa Ali Ra berkata, “Sewaktu Perang Khaibar, Rasulullah melarang nikah mut’ah dan mengharamkan daging himar yang dipelihara (ahliyyah)”. Dalam Shahih Muslim terdapat lafadz yang lain yaitu dari ar-Rabi bin Sabrah bin Ma’bad al-Juhani dari ayahnya disebutkan bahwa ayah ar-Rabi pergi bersama Rasulullah pada waktu pembebasan Mekkah.
Pada waktu itu Rasululllah bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya saya pernah mengizinkan kalian menggauli perempuan dengan cara mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal tersebut sampai hari kiamat. Barangsiapa yang sekarang ini sedang mempraktikkan nikah tersebut, hendaknya ia menghentikannya dan janganlah kalian meminta harta yang telah kalian berikan kepada perempuan-perempuan tersebut“.
Umar juga melarang praktik nikah mut’ah dan banyak Hadist yang menunjukkan keharamannya hingga hari kiamat. Bahkan nikah mut’ah yang dibolehkan oleh madzhab Syi’ah Imamiyah dengan syarat-syarat yang banyak, pada kenyataannya sekarang tidak dipraktikkan.
Keharaman nikah mut’ah adalah karena tuiuan orang yang melakukan nikah mut’ah bukanlah untuk menjaga kehormatan diri, melainkan untuk berzina. Sehingga konsekuensi-konsekuensi persetubuhan yang mereka lakukan tidak wajib dilakukan dan pihak perempuan tidak berkewaiiban menyelesaikan masa iddah.
Ibnu al-Arabi berkata, lbnu Abbas pernah membolehkan nikah mut’ah, kemudian dia menarik kembali pendapatnya itu sehingga keharaman nikah mut’ah merupakan ijma. Madzhab empat selain Imam Zufar juga sepakat untuk mengatakan bahwa nikah mut’ah adalah tidak sah (batal), manakala Imam Zufar mengatakan bahwa pernikahannya sah namun syarat pembatasan waktu (berlangsungnya ikatan pernikahan) adalah tidak sah (batal).