Menurut Jasser Auda, hadist ini berlaku permanen (muabbad) dan tidak temporal, kata ila yawm al-qiyamah mengindikasikan nikah mut’ah dilarang secara mutlak oleh Rasulullah dan tidak dibolehkan meskipun kondisi darurat. Hadist ini sekaligus menghapus hukum kebolehan nikah mut’ah.
Kedua; maqasid al-shari’ah: dilihat dari aspek ini, tujuan pernikahan tidak sekedar melampiaskan syahwat sesaat, lebih daripada itu, nikah bertujuan membentuk keluarga dan menjaga hak istri dan anak.
Nikah mut’ah sebenarnya menghancurkan tujuan fundamental pernikahan, khususnya bagi orang yang sudah berkeluarga, anak perempuan yang tidak meminta izin waliya, dan orang-orang yang melakukan nikah mut’ah tanpa saksi dan wali. Melalui pernikahan, Islam menginginkan agar perempuan diposisikan pada tempat yang terhormat dan dijaga oleh suaminya selama-lamanya.
Ketiga; sadd al-dhari’ah: Implikasi negatif dari nikah mut’ah adalah kebanyakan laki-laki menghindar dari pernikahan permanen dan lebih memilih nikah mut’ah karena mudah dan dapat berganti-ganti pasangan.
Parahnya sebagian perempuan menjadikan nikah mut’ah sebagai profesi, terutama perempuan yang berasal dari keluarga kurang mampu dan tidak memiliki pekerjaan. Mereka rela melakukan mut’ah berkali-kali demi memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Sebagian orang lebih tertarik melakukan mut’ah karena biayanya tidak terlalu mahal dan mudah, terlebih lagi pada sebagian tradisi masyarakat biaya pernikahan sangatlah mahal, seperti harus punya rumah, maharnya mahal, dan pesta pernikahan harus mewah (Jasser Auda: 2007).
Agar dampak buruk dalam nikah mut’ah tidak berkelanjutan dan menyebar luas, maka pintu kebolehan harus ditutup (sadd al-dhari’ah) dan mendorong orang untuk melakukan pernikahan permanen dan formal. (*)
Editor Wildan Nanda Rahmatullah