PWMU.CO – Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah Muhammadiyah (Lazismu) Sidoarjo terus berupaya memberdayakan para mualaf melalui berbagai program. Salah satu langkah nyata yang dilakukan adalah memberikan bantuan usaha berupa alat laundry yaitu setrika uap kepada Suliana (51), seorang mualaf binaan Lazismu Sidoarjo.
Bantuan ini merupakan kelanjutan dari program pembinaan mualaf yang digagas oleh Lazismu Jawa Timur. Program tersebut meliputi penguatan akidah melalui kajian keagamaan serta pemberian bantuan sembako, yang dilakukan pada Jumat (25/10/2024) lalu di Gedung Kemanusiaan, Kantor Lazismu Jawa Timur.
Ketua Lazismu Sidoarjo, Hifni Solikhin menjelaskan bahwa pendampingan mualaf ini sangat penting mengingat tantangan yang dihadapi para mualaf tidak hanya terbatas pada penguatan akidah, tetapi juga mencakup aspek lain, seperti kondisi ekonomi yang berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
“Setelah bekerja selama dua tahun di bidang laundry dan melalui proses asesmen langsung di lapangan, Lazismu Sidoarjo memutuskan untuk menyalurkan Program Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dengan memberikan bantuan berupa alat laundry guna mendukung pembukaan usaha,” jelasnya.
Mualaf yang mengikrarkan dua kalimat syahadat di Mualaf Center Nasional Aya Sofya pada Jumat (6/9/2024) lalu ini, mengaku sangat bersyukur karena secara perlahan, usaha laundry yang baru dirintisnya tersebut sudah mempunyai beberapa pelanggan.
“Saat ini usaha laundry saya hanya menerima jasa setrika pakaian. Tarifnya 4 ribu rupiah per kilogram. Dalam sehari, saya bisa menyelesaikan sekitar 20 hingga 25 kilogram setrikaan. Untuk menarik pelanggan, saya juga menyediakan layanan antar jemput setrikaan di sekitar kawasan Perumahan Bumi Citra Fajar dan sekitarnya,” ungkapnya saat ditemui pada Sabtu, (4/1/2025).
Menurut pengakuannya, sebelum memiliki usaha laundry, ia juga pernah berjualan camilan seperti rambak, kacang, keripik, dan kue kering yang dititipkan ke sekitar 10 warung kopi ataupun warung nasi.
Setiap bungkus camilan dijual dengan harga Rp 2.000. Ia rutin berkeliling seminggu sekali untuk menagih hasil penjualan dan memasok kembali camilan ke warung-warung. Camilan tersebut diantar menggunakan sepeda yang biasanya dilakukan pada malam hari, meskipun jarak antar warung cukup jauh.
Kondisi ini membuat suaminya merasa cemas, terutama karena usianya yang sudah tidak muda lagi dan penglihatannya yang mulai melemah. Kekhawatiran tersebut semakin meningkat saat ia berkeliling di malam hari, di mana sorot lampu kendaraan sering kali membuat penglihatannya kabur.
”Alhamdulillah dengan adanya usaha setrika ini, saya merasa bersyukur karena bisa melakukannya di rumah. Selain itu, saya juga masih memiliki waktu untuk mengikuti kajian yang dapat menambah wawasan keagamaan saya,” pungkasnya. (*)
Penulis Yekti Pitoyo Editor Ni’matul Faizah