Oleh Ahmad Rusdi – Pendidik di MAM 9 Al-Mizan Lamongan dan pegiat media sosial
PWMU.CO – Seorang filosof Yunani bernama Socrates pernah berkata, “Semakin banyak belajar, maka semakin banyak yang tidak diketahuinya“. Sepintas pernyataan ini seolah sebagai pernyataan yang tidak logis atau masuk akal. Namun jika kita melakukan perenungan secara mendalam, saya yakin kita akan mengakui kebenarannya.
Memang benar apa yang dikatakan Socrates, bahwa pernyataan Bapak Filsafat Barat kerap menemui kebenarannya pada diri saya. Semakin saya bersungguh-sungguh belajar, justru merasa semakin bodoh. Semakin banyak yang saya pelajari, maka akan semakin banyak pula yang tidak saya ketahui.
Seorang ilmuan Barat bernama Albert Einstein pernah mengatakan bahwa ilmu yang sejati akan mengantarkan kepada kepercayaan kepada Tuhan. Dengan kata lain, pikiran atau ilmu manusia selanjut bagaimanapun, ujungnya pasti takluk dan menyerah pada Dzat yang Maha Kuasa.
Sesungguhnya banyak rahasia alam yang manusia selalu ingin mengetahui. Dari persoalan yang paling kecil hingga pada hal yang paling besar. Mulai dari yang bersifat atomic hingga yang membumi dan melangit yang bertingkat-tingkat.
Ilmuan memang banyak menguras tenaga dan pikiran karena rasa ingin mengetahui rahasianya tersebut. Meski demikian, masih sangat banyak rahasia alam yang belum terketahui, sehingga berakhir pada Kesimpulan “aku paham, bahwa aku tidak tahu“. Dan jika kita renungkan, ketidaktahuan bisa menjadi tempat untuk bertumbuhnya iman.
Inilah yang bermakna iman atas dasar kesadaran, yaitu keyakinan yang berlandaskan keinsafan atau kesadaran bahwa pada yang berwujud itu ada wajibul wujud.
Konon satu hari seorang berpaham atheis (tidak mengakui adanya Tuhan) yang besar minatnya terhadap ilmu pengetahuan berdebat dengan seorang ilmuan muslim.
Muslim: Apa yang menyebabkan ombak air laut?
Atheis: Angin
Muslim: Dari mana asalnya angin?
Atheis: Udara panas
Muslim: Dari mana asal panas?
Atheis: Sinar Matahari?
Muslim: Siapa yang meletakkan panas pada matahari?
Atheis: “Diam” (tidak tahu)
Seketika itu pula akal dan mulut Si Atheis pun diam tidak mampu lagi menjawab, bersamaan dengan itu sebenarnya hati nuraninya mengatakan “Tuhan”. Namun bibirnya keluh tapi malu untuk mengatakannya.
Seseorang yang awalnya mengklaim dirinya sebagai atheis, bilamana terus melanjutkan penyelidikannya tentang ilmu pengetahuan, seperti perkataan Albert Einstein, maka ia akan sampai pada percaya kepada adanya Tuhan.
Oleh karena itu semakin kita tahu bahwa kita tidak tahu, menunjukkan bahwa ketidaktahuan itulah awal dari penyerahan diri seorang hamba kepada Tuhannya. Dalam terminologi agama bermakna Islam.
Islam merupakan keyakinan universal tidak anti terhadap perubahan dan perkembangan, lebih-lebih terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Islam menganjurkan pemeluknya untuk selalu mendayagunakan akalnya untuk berfikir agar dapat menemukan dan menghasilkan Ilmu atau pengetahuan baru. Meski demikian, majunya ilmu pengetahuan dan teknologi harus selaras dengan kemajuan dimensi kemanusiaan.
Era digital seperti sekarang ini, pengendalian diri itu menjadi penting. Seorang manusia harus mampu mengendalikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya serta teknologi yang dibuatnya, bukan justeru dikendalikan oleh ilmu dan atau teknologi.
Ketika teknologi justru mengendalikan pembuatnya atau penggunanya, maka peradaban manusia akan kembali ke zaman bahula. Zaman barbar, yaitu zaman kuat menindas yang lemah atau yang kaya memperkuda yang miskin, yang berkuasa semakin semena-mena, yang pintar memperbudak yang bodoh, dan budaya malu yang telah terbangun ribuan tahun itu terpaksa kembali ke zaman primitive tanpa peradaban.
Dalam menghadapi lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat dan masif, penyeimbangnya adalah agama. Dan agama Islam mampu menyuguhkan kesetimbangan memberikan tuntunan yang sangat kuat.
Coba kita renungi ayat Al-Qur’an yang pertama kali turun. Ada perintah kepada umat manusia untuk membaca. Kemudian Allah mengatakan dalam lanjutan ayat tersebut dengan mengingatkan agar jangan lupa bahwa Tuhanmu yang telah menciptakan.
Ayat tersebut kalau kita pahamkan dengan keluasan pengetahuan dan keterbukaan/kejujuran pikiran, dapatlah kita rasakan bahwa Tuhan sebenarnya berkata kepada kita hambaNya, “silahkan belajar berdalam-dalam, temukan rahasia-rahasia alam, tetapi ingat dan insaflah seluas dan setinggi apapun capaian di dunia, status kalian tetaplah hamba. Maka berbaktilah pada Tuhanmu dan bergunalah untuk persada raya”.
Editor Notonegoro