PWMU.CO – Kajian Sabtu pagi guru dan karyawan SMP Muhammadiyah 12 (Spemdalas) GKB Gresik mengusung tema Hukum Istighasah Menurut Tarjih Muhammadiyah di Masjid Taqwa, Sabtu (11/01/25).
Dalam materinya, dosen tetap di Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya Program Studi Pendidikan Agama Islam, Dr M Arfan Mu’ammar MPdI menyampaikan kata istighasah berasal dari kata al-Ghouts yang berarti pertolongan.
“Istighasah artinya meminta pertolongan kepada Allah dalam keadaan sempit atau kesusahan. Hal tersebut pernah dilakukan Rasulullah saat Perang Badar,” jelasnya.
Sebagaimana Allah berfirman yang artinya, (Ingatlah) ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu Dia mengabulkan(nya) bagimu (seraya berfirman): Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu berupa seribu malaikat yang datang berturut-turut. (al-Anfal [8]: 9).
Janganlah engkau sembah selain Allah, sesuatu yang tidak memberi manfaat kepadamu dant idak (pula) memberi mudarat kepadamu, sebab jika engkau lakukan (yang demikian itu), sesungguhnya engkau termasuk orang-orang zalim. (Yunus [10]: 106)
Jika Allah menimpakan suatu mudarat kepadamu, tidak ada yang dapat menghilangkannya, kecuali Dia dan jika Dia menghendaki kebaikan bagimu, tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikannya (kebaikan itu) kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Yunus [10]: 107)
“Istighasah kepada manusia dibolehkan, dengan 3 syarat, manusia itu hidup (hayyun), manusia itu mampu (qadirun), manusia itu hadir di hadapan (hadirun),” jelasnya.
“Hidup Manusia yang dimintai pertolongan haruslah dalam kondisi hidup, bukan sudah meninggal. Jika meminta pertolongan kepada orang yang sudah meninggal maka dilarang,” katanya.
Qadirun yaitu manusia yang dimintai pertolongan harus mampu, artinya pekerjaan itu dalam kapasitas pekerjaan yang mampu dikerjakan oleh manusia.
“Misalkan meminta tolong kepada manusia mengambilkan barang, membangun rumah atau mendesain rumah. Manusia yang dimintai pertolongan haruslah di hadapan atau di sekitar kita, atau dapat dijangkau dalam berkomunikasi, bukan manusia itu ghaib yang kita tidak bisa berkomunikasi,” jelasnya.
Sering kali, lanjutnya, sebagian dari masyarakat kita beralasan bahwa mereka meminta kepada Allah, bukan kepada manusia atau orang yang sudah meninggal, tetapi mereka menjadikan orang yang sudah meninggal itu sebagai ‘perantara’ (tawassul) untuk mendekatkan diri, dan meminta kepada Allah.
“Hal tersebut juga dilarang oleh agama. Sebagaimana orang-orang musyrik Arab menjadikan berhala untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah SWT,” ujarnya.
Ketahuilah, hanya untuk Allah agama yang bersih (dari syirik). Orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata,) Kami tidak menyembah mereka, kecuali (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. Sesungguhnya Allah akan memberi putusan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada pendusta lagi sangat ingkar. (Az-Zumar [39]: 3)
Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Rasululah ketika dapat masalah berat, beliau membaca: Yaa Hayyu Yaa Qayyum, bi rahmatika as-taghiits [artinya: Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri tidak butuh segala sesuatu, dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan].” (HR. Tirmidzi no. 3524. Derajat hadis ini Hasan)
“Jika kita menelisik fatwa majelis tarjih, maka yang kita temui adalah fatwa dalam praktek istighasah saat ini, yaitu dizikir bersama, minta tolong kepada selain Allah dan ber-tawassul kepada orang yang sudah meninggal,” katanya.
Sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut pada waktu pagi dan petang, dengan tidak mengeraskan suara, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah. (al-A‘raf [7]: 205)
Di dalam Hadis Riwayat Imam Muslim dari Abu Musa, Rasulullah bersabda yang artinya, Hai manusia, kecilkan suaramu, sebab kamu tidak menyeru kepada orang yang tuli dan jauh, melainkan kamu menyeru kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat dan Dia bersamamu. [HR. Muslim]
“Dalam sebuah hadis lain yang sudah begitu terkenal diterangkan, di antara orang yang mendapat naungan Allah dari terik panas matahari di hari kiamat ialah orang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sunyi sepi sehingga mengalir air matanya,” jelasnya.
Larangan Minta Tolong kepada Selain Allah, QS. Yunus [10]: 106 dan 107
Larangan Tawassul kepada orang yang sudah Meninggal, QS. az-Zumar [39]
“Tawassul Menggunakan Amal Kebaikan, dalam HPT bab doa dengan wasilah dicantumkan hadis yang menjadi dasar boleh berdoa dengan wasilah amal saleh,” jelasnya.
Hadis itu mengambil dari Shahih Bukhari nomor 2272 dan Muslim nomor 2743.
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma, dia berkata,“Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,“Ada tiga orang dari umat sebelum kalian melakukan perjalanan, lalu mereka masuk ke dalam goa untuk berteduh di sana. Tiba-tiba ada batu besar yang runtuh dari atas gunung dan menutup pintu gua. Mereka berkata, “Kalian tidak dapat selamat dari batu ini kecuali kalian berdoa dengan perantara amal-amal salih kalian”.
Lalu salah seorang dari mereka berdoa: “Ya Allah, dahulu saya memiliki kedua orang tua yang sudah renta. Saya tidak memberi minuman di malam hari untuk keluarga saya atau hewan ternak saya, sebelum saya memberi minuman untuk keduanya. Suatu saat saya ada keperluan hingga pulang larut dan belum sempat saya beri minum. Maka saya buatkan minuman untuk mereka, namun ternyata saya dapatkan mereka telah tertidur.
Saya tidak ingin memberikan minum kepada keluarga dan hewan ternak saya sebelum saya memberikan minum untuk keduanya, maka saya tunggu mereka bangun dari tidur sambil memegangi wadah minuman tersebut. Saya pun tidak ingin membangunkan keduanya, sementara anak-anak saya menangis-nangis kelaparan dan memegangi kaki saya. Begitu seterusnya hingga terbit fajar. Kemudian terbit fajar, lalu aku membangunkan keduanya dan memberinya minum.”
“Ya Allah, jika aku melakukan hal itu karena mengharap wajah-Mu, lepaskanlah kami dari batu ini.” Lalu batu itu bergeser sedikit, namun mereka belum dapat keluar darinya.
Lalu Rasulullah bersabda: “Yang lain berkata, ya Allah, dahulu ada puteri pamanku yang sangat aku cintai, lalu aku ingin berbuat zina dengannya, namun dia menolaknya. Hingga suatu saat terjadi musim paceklik. Maka dia datang (untuk meminta bantuan), maka aku memberikannya 120 dinar dengan syarat dia menyerahkan dirinya kepadaku. Maka dia bersedia. Hingga ketika aku dapat melakukan apa yang aku inginkan terhadapnya, dia berkata, ‘bertakwalah kepada Allah, cincin tidak boleh dilepas kecuali oleh orang yang berhak”
Maka akupun takut melakukan perbuatan itu, lalu aku tinggalkan dia padahal dia adalah orang yang paling aku cintai. Aku tinggalkan pula emas yang telah aku berikan kepadanya. “Ya Allah, jika aku melakukan hal tersebut semata untuk mengharap wajah-Mu, maka bebaskan aku dari apa yang aku alami ini.” Lalu batu itu bergeser dua pertiganya, namun mereka masih belum dapat keluar.
Lalu Rasulullah bersabda: “Yang ketiga berkata, ‘Ya Allah, dahulu aku menyewa beberapa orang pekerja, lalu aku berikan upah mereka masing-masing kecuali satu orang yang meninggalkannya begitu saja. Maka upahnya tersebut aku investasikan hingga berkembang. Lalu (sekian lama kemudian) orang itu datang kepadaku dan berkata, ‘Wahai fulan, berikan upahku.’ Maka aku katakan kepadanya, ‘Semua yang engkau lihat berupa onta, sapi, kambing dan budak adalah upahmu.” Maka orang itu berkata, ‘Wahai Abdullah, jangan meledek aku,’ Aku berkata, ‘Sungguh aku tidak meledekmu.” Lalu orang itu mengambil semua haknya tanpa menyisakan sedikitpun. “Ya Allah, jika aku lakukan semua itu karena berharap wajah-Mu, maka bebaskanlah aku dari apa yang aku alami ini.” Lalu batu itu bergerak sehingga akhirnya mereka dapat keluar meninggalkan tempat tersebut (HR. Bukhari dan Muslim nomor 2272 dan Muslim nomor 2743).
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (Al-Maidah [5]: 35).(*)
Penulis Ria Rizaniyah. Editor Zahrah Khairani Karim