Oleh Muhammad Syamsi Ali – Poetra Kajang di Kampoeng New York
PWMU.CO – Dalam tiga hari saya menerima pertanyaan bertubi-tubi tentang kebakaran di tiga district di Los Angeles, California, Amerika Serikat. Jujur, saya hampir merasa kesal dan malas untuk merespon. Hampir semua mata tertuju ke kota Hollywood itu dengan ragam konklusi. Belum lagi berbagai media, baik media mainstream, dan terlebih media sosial yang menyampaikan dan menampilkan informasi yang belum tentu akurat tentang kebakaran itu.
Faktanya, berbagai informasi yang telah menyebar ke berbagai belahan dunia ini ada yang benar dan akurat. Tapi tidak sedikit juga yang termanipulasi, bahkan hanya dengan menggunakan “artificial intelligence” (AI) demi untuk menambah dan mendramatisir kejadian yang sesungguhnya. Baik pada aspek gambar/video maupun pada sisi statemen dan kesimpulan yang tersampaikan.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa kita memang berada pada alam informasi (dan misinformasi) yang sangat cepat dan tak terkontrol. Sekaligus menggambarkan bagaimana media, khususnya media sosial saat ini mampu menguasai cara pandang (mindset), persepsi dan perasaan, bahkan keyakinan banyak orang. Orang-orang kemudian menyimpulkan dengan perasaannya sendiri seraya meyakini sesuatu itu dari informasi media yang berkeliaran.
Informasi yang tidak akurat (misinformasi) pun sampai kepada kita, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Informasi inilah yang kemudian populer dengan istilah informasi hoax. Informasi hoax yang merentang ini selanjutnya menimbulkan keresahan, kesalah pahaman, dan bahkan fitnah.
Harus diakui pula, masyarakat dan dunia Islam khususnya telah menjadi korban (victim) dari misinformasi. Misinformasi ini (sebagian) memang sengaja disebarkan untuk menciptakan persepsi yang salah tentang Islam.
Kebakaran Los Angeles
Sebenarnya saya telah menulis beberapa catatan singkat tentang hal ini pada group-group whatsapp (WA) dan media sosial lainnya. Catatan itu saya maksudkan sebagai respon terhadap banyak pertanyaan yang sampai ke saya pribadi, maupun lewat media sosial lainnya.
Namun karena masih banyak yang mengontak via WA, media sosial, bahkan ada yang telepon langsung, maka saya berhasrat lagi untuk menyampaikan poin-poin yang sudah saya sampaikan.
Sekedar tambahan informasi, saya dan keluarga memang jauh dari lokasi kebakaran. Kami di New York (Timur) sementara daerah yang terbakar di Barat. Membutuhkan waktu sekitar 5 jam penerbangan untuk ke daerah itu.
Terkait hal tersebut, ada beberapa poin yang perlu saya sampaikan kembali, yaitu:
Satu, Negara bagian (State) California sesungguhnya terkenal sebagai daerah yang sering mengalami kebakaran. Hampir setiap tahun terjadi kebakaran pada daerah itu. Hal itu karena Los Angeles (LA), California, Amerika Serikat (AS) merupakan daerah tropis yang kering dan berangin kencang.
Dua, beberapa tahun lalu California juga pernah mengalami kebakaran yang lebih luas dan lama, mengakibatkan banyak rumah warga yang turut terbakar. Namun saat itu memang tidak terlalu terekpos karena California tidak lebih dari perkampungan biasa yang berpenghuni mayoritas penduduk miskin dari kalangan Hispanic.
Tiga, kebakaran di LA kali ini mencakup 3 lokasi, yang sebagian lokasinya kebetulan berpenghuni para bintang Hollywood. Karena itu menjadi sangat diekspos dan didramatisir.
Eksposur peristiwa ini secara luas dan besar-besaran mengindikasikan adanya “systemic racism” (rasisme sistem) yang ada dalam masyarakat Amerika. Karena korban kebakaran ini dari kalangan atas yang mayoritas warga kulit putih, maka semua harus merasakan kesedihan, seharus bersimpati dan memberikan dukungan.
Empat, banyak juga eksposur dalam bentuk dramatisasi melalui video-video lengkap dengan komentar-komentar hiperbola atau berlebihan tidak sesuai kenyataan. Bahkan sebagian memakai “artificial intelligence” untuk mendramatisir peristiwa kebakaran itu. Artinya tidak semua yang kita lihat/baca dari berbagai media itu akurat alias hoax.
Lima, secara pribadi tidak terlalu sepakat dengan ‘penghakiman’ yang mengaitkan kebakaran itu dengan aksi genosida genosida dan pengrusakan total (total elimination) di Gaza, dan menilainya sebagai hukuman atau balasan dari Allah. Menurut saya, sesuatu yang bersifat “ghoib” (theological in nature) biarlah itu menjadi otoritas Tuhan. Saya teringat waktu tsunami terjadi di Aceh pada tahun 2004, yang juga menjadi sarana ‘penghakiman’ dan mengaitkannya pada fenomena kemungkaran merajalela di tanah Rencong. Suatu penghakiman yang menurut saya sangat “unethical” (tidak etis) dan senseless (tidak punya perasaan).
Enam, saya justeru semakin tersadarkan bahwa ternyata Amerika selalu mampu menyihir agar banyak orang untuk memberikan perhatiannya. Kebakaran pun bisa menjadi perhatian banyak orang yang sebelumnya tidak punya kepentingan apa-apa. Kalau saja kebakaran ini terjadi, seperti yang pernah dialami Bangladesh dan menewaskan ribuan orang, apakah dunia akan seheboh ini?
Tujuh, secara agama (Islam) saya juga mempertanyakan, apakah ada pembenaran kala ada orang (utamanya orang yang tidak disenangi) mendapat musibah, kita justru bertepuk tangan karena bergembira? Apakah Islam mengajarkan etika seperti itu? Saya teringat kembali hadirnya dua mantan Presiden Amerika (Bill Clinton dan George W Bush Jr) pasca terjadinya tsunami Aceh sebagai bagian dari rasa empatinya.
Delapan, kita tidak menyadari bahwa pada zaman edan keterbukaan media ini, khususnya media sosial, terlalu mudah dan tanpa merasa berdosa, ada saja pihak-puhak yang dengan sengaja merekayasa foto-foto/video, mendramatisir dan kemudian meviralkannya. Bahkan mereka membumbui video-video itu dengan komentar-komentar dalil-dalil keagamaan sebagai hiasannya. Dengan itu pula, kemudian merasa telah menang mengalahkan musuh (baca: Amerika).
Sembilan, memperhatikan respon luas umat Islam yang kurang simpati atas peristiwa kebakaran itu, saya berprasangka, “jangan-jangan respon ini adalah bagian dari inferiority complex (jiwa inferior) yang melanda umat saat ini”. Sebesar, sehebat dan sepenting itukah Amerika di mata umat Islam termasuk umat Islam Indonesia?
Akhirnya, catatan saya ini tidak sama sekali menihilkan pentingnya untuk mengkritisi dengan segala daya yang ada atas kejahatan Amerika. Kita harus tetap melawan dan mengkritisi atas keterlibatan AS dalam membantu pembunuhan massal dan genosida atas Gaza, atau kejahatan kemanusiaan Israel yang mendapat dukungan penuh dari AS.
Namun juga tidak bisa kita menutup mata bahwa Amerika adalah bangsa (nation), bukan hanya pemerintah (government) memilki nilai-nilai positif yang perlu mendapat apresiasi. Satu, kebebasan beragama bagi komunitas Muslim di AS, termasuk dalam hal mendakwahkan agama ini. Dua, masyarakat AS memiliki kebebasan untuk mengkritisi pemerintahnya atas “blindness” (kebutaan) dan “heartlessness” (tidak punya hati) atas pembunuhan massal dan genosida di Gaza.
Komunitas Muslim Amerika memegang nilai “wasathiyah” atau memilih bersikap tawazun dalam menyikapi semua hal. Siap bekerja sama atas prinsip saling menghormati (mutual respect). Dan siap mengkritisi setajam-tajamnya untuk tujuan perbaikan (constructive criticism). Kami sadar jika perjalanan kami masih panjang. Jalan-jalan dan jembatan itu harus tetap kami pelihara agar kami tidak terjatuh ke dalam jurang kebinasaan. Wallahu a’lam!
Jamaica Hills, 12 Januari 2025
Editor Notonegoro