Susunan hadist secara sederhana terdiri atas pengantar pemberitaan (sanad) dan inti berita (matan). Sanad berfungsi membuktikan proses kesejarahan terjadinya hadist, sedang matan mempresentasikan konsep ajaran yang terbalut dalam bahasa ungkapan hadist.
Dilihat dari ketersambungan sanad (ittishal al-sanad), hadits Bukhari ini berstatus marfu’ atau tersambung sampai Nabi Muhammad. Namun dilihat dari sedikit-banyaknya perawi dalam setiap tingkatan (thabaqah), hadits ini berstatus Ahad. Sebab, pada thabaqah (tingkatan pertama di bawah Nabi), hadits ini hanya diriwayatkan oleh satu sahabat, yaitu Anas bin Malik. Bahkan “ketersendirian” periwayatan ini sudah terjadi pada thabaqah ketiga, tepatnya Zaidah bin Abi ar-Raqqad yang menyatakan mendapatkan hadits itu dari Ziyad an-Numairy.
Artinya, seluruh periwayatan hadits itu hanya merujuk pada sumber yang sama yaitu Zaidah bin Abi al-Raqqad dan Ziyad an-Numairy. Lantas bagaimana kredibilitas keduanya dalam meriwayatkan sebuah hadits? Semua ulama hadits menyatakan bahwa keduanya adalah perawi yang harus ditolak ketika meriwayatkan hadits.
Imam Baihaqi yang juga meriwayatkan hadits itu misalnya, mengatakan “Hadits ini hanya diriwayatkan oleh an-Numairi, dan dari dia hanya oleh Zaa-idah. Berkata Bukhari: Zaidah jikalau meriwayaktan dari Ziyad al-Numairi haditsnya munkar. An-Numairi ini juga orang yang lemah. Hadits di atas memiliki 2 perawi yang bermasalah, Zaidah bin Abi al-Raqqad dan Ziyad an-Numairy.
Tentang Zaidah bin Abi al-Raqqad ini, Bukhari menyatakannya: dia munkarul hadits (tingkatan hadits yang sangat-sangat lemah). “Saya tidak mengetahui haditsnya,” (Imam Abu Dawud), “Saya tidak tahu, siapa orang ini,” (Imam Nasa’i), “Tidak bisa dijadikan hujah,” ( Ad-Dzhabi dalam Diwan Ad-Dhu’afa), dan Ibnu Hajar mengatakan Zaidah sebagai Munkarul hadits.
Penilaian yang kurang lebih sama juga dikemukakan para ulama pada Ziyad bin Abdullah Al-Numairi al-Bashri. Yahya bin Ma’in mengatakan untuk hadits yang melalui riwayat Ziyad al-Numairy: Hadisnya dhaif. Abu Hatim menyatakan: Haditsnya ditulis, tapi tidak dijadikan hujjah. Imam al-Daruquthni menilainya: “Dia tidak kuat”, sementara Ibnu Hajar juga mengatakan” dhaif”.
(Baca: Bagaimana Tuntunan Puasa Rajab?)
Kesimpulannya, hadits tentang doa masuk bulan Rajab itu tidak bisa dijadikan hujjah karena dla’if. Sehingga sudah selayaknya tidak ada “ritual khusus” yang seakan-akan menempatkan doa itu sebagai ibadah khusus. Apalagi dijadikan doa yang hanya dibaca ketika bulan Rajab tiba. Lebih daripada itu, jangan pernah mengklaimnya sebagai “doa yang diajarkan Nabi Muhammad saw” karena hadits yang meriwayatkan semuanya itu lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah.
Dengan demikian, hadits tersebut tidak dapat dijadikan sebagai landasan pengamalan doa khusus di bulan Rajab untuk mendapatkan keutamaan dan pahala besar adalah tidak dibenarkan. Namun bagi siapa yang meminta kepada Allah agar diberkahi pada bulan Rajab dan Sya’ban serta disampaikan kepada Ramadhan-–bukan sebagai ibadah khusus di bulan Rajab ini–tentu tidak mengapa. Karena ia berdoa dengan doa yang bersifat umum yang mungkin dikabulkan oleh Allah swt. Yang tidak boleh adalah menghususkannya di bulan Rajab dan meyakininya sebagai amalan istimewa di bulan ini. Wallahu a’lam bi al-Shawab. (Muhammad Abu Abqaraya)