Oleh Ery Santika A, SST MAg – Da’i di Muhammadiyah
PWMU.CO – Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam di Indonesia yang bercorak modernis memiliki karakteristik pemikiran yang dinamis dan adaptif terhadap tantangan zaman. Secara historis, Muhammadiyah telah dan terus membangun menjembatan antara dari warisan keislaman klasik dengan realitas Islam era kontemporer. Salah satu wujud dari dinamika pemikiran ini adalah penerapan epistemologi Islam dengan tiga pendekatan, yakni Bayani – Burhani – Irfani.
Ketiga pendekatan ini tidak hanya merefleksikan metode berpikir yang holistik, tetapi juga menjadi pedoman dalam merumuskan kebijakan, strategi dakwah, dan pemecahan masalah sosial yang relevan dengan masyarakat modern.
Pertama, pendekatan “Bayani” berfokus pada teks-teks keagamaan, seperti Al-Qur’an, Hadis, dan karya-karya ulama klasik. Dalam konteks Muhammadiyah, pendekatan Bayani sebagai dasar dalam menjaga kemurnian (pure) ajaran Islam dari penyimpangan. Contohnya, dalam pembaruan praktik ibadah, Muhammadiyah sering merujuk langsung kepada dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadis tanpa terikat oleh tradisi lokal yang dianggap tidak memiliki landasan syar’i.
Kedua, pendekatan “Burhani” yang menekankan pada penggunaan akal dan atau logika untuk memahami realitas. Pendekatan Burhani mengintegrasikan ilmu pengetahuan modern dengan nilai-nilai Islam. Muhammadiyah menggunakan pendekatan ini, misalnya, dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Pendirian sekolah, universitas, dan rumah sakit Muhammadiyah didasarkan pada kajian rasional mengenai kebutuhan masyarakat sekaligus berlandaskan prinsip Islam.
Dan ketiga, pendekatan “Irfani” yang mengedepankan pengalaman spiritual dan intuisi dalam memahami makna terdalam dari ajaran Islam. Pendekatan Irfani membantu Muhammadiyah agar tetap menjaga dimensi ruhaniyah dalam berbagai aktivitasnya. Misalnya, pembinaan akhlak dan spiritualitas anggota Muhammadiyah melakukannya melalui kegiatan pengajian, pelatihan dakwah, dan tarbiyah.
Transformasi Pemikiran Muhammadiyah melalui tiga pola itu tidak bersifat parsial. Ketiganya saling berintegral satu sama lain, sehingga semakin menampakkan kesempurnaannya.
1. Dari Bayani ke Burhani: rasionalisasi ibadah dan muamalah
Pada masa awal Muhammadiyah memakai pendekatan Bayani yang ketat untuk melakukan purifikasi ajaran Islam agar terhindar dari praktik-praktik yang dianggap bid’ah. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, Muhammadiyah pun mulai mengenalkan pendekatan Burhani untuk menghadapi berbagai tantangan kontemporer yang ada.
Contohnya, fatwa Muhammadiyah tentang penggunaan Kalender Hijriyah Global untuk menentukan awal bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Melalui pendekatan Bayani, penetapan awal bulan semata-mata merujuk pada hadis tentang rukyatul hilal. Namun selanjutnya Muhammadiyah mengenalkan pendekatan Burhani untuk melengkapi metode hisab (perhitungan astronomis) sebagai cara yang lebih ilmiah dan relevan di era modern.
2. Integrasi Burhani dan Irfani dalam pendidikan dan dakwah
Dalam bidang pendidikan, Muhammadiyah tidak hanya menekankan pada kekuatan kongitif (kecerdasan rasio) untuk mengajarkan ilmu pengetahuan (Burhani). Muhammadiyah juga berkepentingan untuk membentuk karakter dan spiritualitas peserta didik (Irfani).
Pendekatan ini — Kurikulum Sekolah Muhammadiyah — mengintegrasikan sains, agama, dan pengembangan akhlak. Misalnya, mengajarkan siswa tentang pentingnya menjaga lingkungan sebagai amanah Allah melalui pembelajaran berbasis proyek. Pendekatan ini tidak hanya mengajarkan teori sains tentang ekosistem, tetapi juga menanamkan nilai spiritual bahwa manusia bertanggung jawab terhadap kelestarian alam.
3. Bayani sebagai pilar pemurnian, Burhani sebagai pilar adaptasi
Muhammadiyah tidak serta-merta mencampakkan pendekatan Bayani, meskipun semakin kesini semakin aktif menggunakan pendekatan Burhani dan Irfani. Pendekatan Bayani tetap menjadi pijakan dalam menentukan batas-batas syariat. Namun, pendekatan ini juga mengkolaborasikan dengan pendekatan Burhani untuk menjawab persoalan yang belum terjelaskan secara eksplisit dalam teks agama, seperti isu kesehatan reproduksi atau teknologi. Fatwa terkait vaksinasi, misalnya, Muhammadiyah menggunakan pendekatan Bayani untuk memastikan kehalalan vaksin. Namun Muhammadiyah juga menggunakan pendekatan Burhani untuk memahami urgensi vaksinasi dari sudut pandang kesehatan masyarakat.