Oleh Ahmad Soleh – Sekretaris MPI PDM Kota Depok, Mahasiswa SPs Uhamka, & Awardee Beasiswa Kader MPK-SDI PP Muhammadiyah
PWMU.CO – Islam adalah agama yang progresif. Islam bukan sekadar ajaran yang menuntut umatnya untuk saleh secara spiritual, tetapi juga saleh dan berdampak secara sosial. Semangat inilah yang terus menggelora dalam Persyarikatan Muhammadiyah sebagai sketsa pemikiran dan gerakannya. Sebagai organisasi dakwah yang sudah kawakan, Muhammadiyah mampu eksis lantaran memegang teguh ideologi pemikiran dan gerakannya. Adapun pandangan yang menyebut Muhammadiyah sebagai organisasi yang terlalu inklusif sehingga mudah diinfiltrasi paham dan ideologi lain, sampai saat ini belum nyata buktinya.
Memang ada yang berpandangan bahwa Muhammadiyah dekat dengan Wahabisme karena purifikasinya, tapi hal itu tidaklah benar. Wahabisme cenderung takfiri, sedangkan Muhammadiyah tidak. Wahabisme menggunakan pendekatan doktrinasi dalam menyebarkan pahamnya, sedangkan Muhammadiyah menggunakan pendekatan dialogis. Muhammadiyah fokus pada dampak dan kebermanfaatan yang diberikan, bukan pada seberapa banyaknya yang menjadi “pengikut”. Selintas, ini bisa dipandang sebagai kelemahan, tetapi justru itulah kekuatan Muhammadiyah.
Apa yang menjadi pemahaman Muhammadiyah sebagai ideologi terkadang berbeda dengan pandangan umum. Muhammadiyah memandang ideologi sebagai keyakinan, cita-cita, dasar pemikiran, dan tujuan yang dapat dirunut secara metodologis. Selain itu, bagi Muhammadiyah, ideologi haruslah diwujudkan dalam strategi dan formula gerakan. Rumusan ideologi Muhammadiyah dapat kita pelajari dari dokumen Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup (MKCH) Muhammadiyah sebagai hasil putusan Muktamar ke-27 Muhammadiyah Yogyakarta. Rumusan ideologi yang berisi lima pokok pikiran Muhammadiyah tersebut berlandaskan semangat pemurnian, pembaruan, pencerahan, serta pengimplementasian nilai-nilai dan ajaran Al-Qur’an dan sunah.
Rumusan ideologi juga kita temukan dalam dokumen resmi Muhammadiyah, antara lain Mukaddimah Anggaran Dasar, Khittah Perjuangan Muhammadiyah, Langkah 12, Himpunan Putusan Tarjih, dan dokumen pandangan/pernyataan resmi Persyarikatan lainnya. Sebagai rujukan untuk memperkaya “pengetahuan” perihal ideologi Muhammadiyah kita dapat membaca buku Memahami Ideologi Muhammadiyah yang ditulis oleh Prof Dr Haedar Nashir, MSi. Buku tersebut tidak hanya lengkap dan sistematis, tetapi juga lugas dan mudah untuk dipahami.
Mengawal zaman
Lahirnya rumusan ideologis Muhammadiyah selalu selaras dalam mengiringi konteks zaman. Kontekstualisasi alam pikiran Muhammadiyah dengan kondisi sosial, politik, budaya, dan persoalan kebangsaan dan kemasyarakatan terlihat sebagai hal yang amat penting. Hal ini untuk memastikan kehadiran Muhammadiyah bisa berdampak kepada kemaslahatan bersama. Sehingga, pijakan Islam tidak mengawang-awang yang melangit, tetapi juga lebih membumi dan memberikan manfaat nyata.
Apa yang diwujudkan oleh Muhammadiyah tersebut—meminjam ungkapan Mutohharun Jinan—merupakan bentuk peran “mengawal zaman”. Dalam artian, Muhammadiyah mengambil sikap pro-aktif dalam merespons konteks persoalan yang ada. Ahmad Nur Fuad (2015) dalam buku Dari Reformis Hingga Transformatif; Dialektika Intelektual Keagamaan Muhammadiyah mengungkapkan, pemikiran keagamaan KH Ahmad Dahlan ialah menekankan pada tindakan (amal) yang dilakukan secara tulus. Semangat keagamaan semacam ini masih terpelihara di kalangan Muhammadiyah hingga sekarang. Hal ini menguatkan kiprah Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah-kemasyarakatan dalam berbagai bidang kehidupan, seperti pendidikan, kesehatan, sosial, politik, dan sebagainya.
Islam dipahami sebagai agama yang berorientasi masa depan. Sebab itulah, Haedar Nashir (2018) dalam buku Islam Agama Pencerahan secara gamblang menjelaskan bahwa Muhammadiyah memaknai Islam sebagai agama pencerahan (din at-tanwir). Guru besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini memandang risalah pencerahan ajaran Islam merupakan pesan pentingnya Rasulullah saat khutbah wada’. Khutbah Rasulullah pada peristiwa haji wada itu berisi pesan ilahiah dan kemanusiaan universal.
Di antara dua pesan penting tersebut, yaitu: 1. pentingnya misi menyempurnakan akhlak, dan 2. risalah untuk menciptakan rahmat bagi semesta alam. Dua misi penting inilah yang sedianya dapat kita rawat dan implementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai bahan perenungan yang mendalam. Pesan ini mengingatkan kita tentang pentingnya mengambil peran dalam menyelesaikan persoalan kemanusiaan yang ada di depan mata.
Manifesto kemakmuran
“Mewujudkan Kemakmuran untuk Semua” merupakan tema yang diusung PP Muhammadiyah dalam rangka milad ke-112 tahun. Secara umum, mewujudkan kemakmuran rakyat adalah cita-cita para pendiri bangsa. Sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, pada alinea kedua, yang menyebutkan “dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”
Kata “makmur” dalam UUD menjadi salah satu bukti perwujudan kemerdekaan. Selain itu, pengelolaan negara dengan segala kekayaan alamnya juga mengarah pada kemakmuran rakyat Indonesia. Seperti pada Pasal 33 ayat 3 yang berbunyi, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Dalam bahasa Indonesia, kata “makmur” memiliki kedekatan makna (sinonim) dengan kata “sejahtera”. Kedua kata tersebut secara umum mengandung arti nyaman, aman, tenteram, dan sentosa.
Kehidupan yang aman, nyaman, tenteram, dan sentosa dapat kita gambarkan juga dengan kehidupan yang serba berkecukupan, senang, tidak menderita, keadilan tegak, tidak ada ketimpangan, dan tidak ada perilaku yang merugikan orang banyak, seperti halnya korupsi. Negara yang makmur sering kita sebut dengan ungkapan “Gemah Ripah Loh Jinawi”. Muhammadiyah menggambarkan ungkapan “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur”, yakni suatu negeri yang bersih suci dan makmur di bawah perlindungan Tuhan Yang Maha Pengampun.
Muhammadiyah mengambil peran sebagai organisasi dakwah-sosial dalam mewujudkan cita-cita itu. Sebagaimana tertuang dalam Risalah Islam Berkemajuan (2023), Muhammadiyah memiliki empat gerakan pokok yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam yang autentik, yakni gerakan dakwah, gerakan tajdid, gerakan ilmu, dan gerakan amal. Upaya mewujudkan kemakmuran adalah perpaduan dari implementasi keempat gerakan itu. Sebuah pengkhidmatan yang nyata dan tulus untuk umat. Muhammadiyah tidak kenal lelah dalam menghimpun dan melembagakan kebaikan berorientasi kemaslahatan.
Tentu, mewujudkan tema yang biasanya dianggap “utopis” itu bukanlah perkara mudah. Menghadirkan kemakmuran untuk semua harus kita yakini sebagai cita-cita luhur yang berlandaskan nilai dan ajaran Islam yang berkemajuan. Amal usaha dan aset sekian banyak yang dimiliki Muhammadiyah adalah bagian dari kerja nyata “mengawal” kemakmuran untuk semua dapat terwujud. Pada akhirnya, manifesto kemakmuran merupakan merupakan usaha terus-menerus untuk mewujudkan kemaslahatan umat.
Editor Notonegoro