Oleh Hervina Emzulia
PWMU.CO – Ibarat sebuah cerita film Dystopia, ketika manusia berlarian dalam lomba tak berujung menuju tujuan yang tidak pernah ada. Ketenaran yang tak terhitung, prestasi yang terus terbaharui, dan popularitas yang terengkuh dengan melahirkan panggung yang megah. Tapi di balik riuh rendah pencapaian ini, diam-diam dan lirih kita mulai mempertanyakan satu hal yang mungkin sering terlupakan: kenapa kita begitu lelah?
Ketika Byung-Chul Han menulis Burnout Society, ia menjejer imajinasi sebuah dunia di mana kita semua menjadi korban dari ambisi tak terbatas. Ironisnya, bukan oleh tuntutan eksternal, tetapi oleh tekanan yang kita ciptakan sendiri. (Kemudian) Han menawarkan sebuah ide sederhana namun mencekam. Pada masyarakat modern, kita mengejar capaian-capaian yang tidak memiliki batas. Tanpa memahami bahwa kelelahan — dan lebih parah lagi, kehancuran diri — adalah harga mahal yang harus dibayar.
Masyarakat hari ini, kata Han, telah berubah menjadi “masyarakat kinerja”. Kita tidak lagi dipaksa untuk bekerja keras oleh liyan. Kita secara sukarela terjerat dalam belitan tuntutan yang kita ciptakan sendiri. Tuntutan untuk terus berprestasi, lebih cepat, lebih banyak, lebih baik, tanpa pernah bertanya di mana batas bernama cukup. Kita membungkus semua upaya kita dalam pembenaran yang berlapis. Apa yang dulu kita sebut sebagai tekanan eksternal, kini kita sebut sebagai “hasrat untuk berkembang”.
Yang kita lakukan sekarang adalah bentuk baru dari hasrat atas pencapaian tiada akhir. Kita lari, berpacu, bergerak dari satu tonggak ke tonggak lain, sembari menghindari kenyataan bahwa kita mengabaikan satu hal mendasar: keletihan kolektif. Apakah pencapaian lebih penting daripada proses kita mencapainya? Kala tengah terengah lari mengejar pencapaian demi pencapaian, dalam diam kita terhinggapi kelelahan.
Setiap kenaikan status, setiap puncak yang tercapai, justru menghasilkan kelelahan yang lebih dalam. Kita mendapat janji kebahagiaan melalui capaian. tetapi yang kita dapati sesungguhnya, kata Han, adalah keadaan yang sebaliknya. Sebuah kekosongan yang demikian sulit diisi—bahkan termasuk diisi dengan apa yang kita sebut sukses.
Kita hidup dalam ilusi pencapaian. Kita harus memaksa mengejar capaian dengan akumulasi penghargaan dan objek-objek material. Jika orang di sekitar kita terlihat semakin sibuk mencari tujuan yang tak berujung, kita ikut terjebak dalam ekspektasi sosial untuk bergerak lebih cepat, dan lebih cepat lagi.
Setiap kali kita membuka linimasa media sosial, kita acap mendapat sambutan dengan deretan prestasi—orang-orang sukses.Berpose dengan senyum merekah di balik latar belakang gedung pencakar langit atau meja kerja yang penuh penghargaan. Bahkan pada dunia maya, pencapaian ini tersebar seperti virus yang harus ditiru, disebarkan, dan dilanggengkan.
Di media sosial, capaian telah menjadi mantra yang tiap hari dipersembahkan oleh para pengikutnya. Media sosial sudah sejak lama berubah menjadi lanskap pamer capaian yang membabi buta. Di sana, nyaris setiap orang tampil sebagai manusia sempurna dengan sederet capaian wah, Dan, seringkali kita semua lupa: ini adalah dunia maya! Pekerjaan kita tak hanya untuk diri kita sendiri, tapi demi menerima pengakuan dari dunia luar—dalam bentuk likes, retweet, atau sekadar apresiasi dari orang yang kita belum tentu kenal.
Lihatlah fenomena ini dalam kontras dengan kenyataan sejarah—suatu masa kala kekayaan atau status merupakan barang yang terbatas. Tetapi kini terlihat seperti konsumsi harian yang bisa berubah kapan saja. Masyarakat yang menghiasi dengan pencapaian justru menciptakan cermin palsu yang memantulkan wajah kita, menciptakan bayangan siapa diri kita, tetapi terlepas dari potret nyata yang sebenarnya kita sendiri tidak ingin lihat.
Semakin hari kita kian membandingkan pencapaian kita dengan apa yang “dipamerkan” oleh manusia. Dan semakin kita menjelajah dunia ini—tentu melalui layar yang hampir tak pernah putus memandangi wajah kita—kita semakin terperosok ke dalam jurang dalam bernama batasan yang tak pernah benar-benar tercapai.
Ini, lanjut Han, adalah tragedi yang lebih besar dari sekadar ketidakseimbangan mental—ini adalah ironi sosial. Masyarakat yang terdera oleh ambisi pribadi seolah mendeklarasikan bahwa individu adalah pusat segala kemajuan. Namun, dalam banyak kasus, kemajuan itu dibangun di atas panggung keletihan yang luar biasa. Mencapai lebih berarti menyakiti lebih dalam, bertanya-tanya apakah mungkin pencapaian itu layak terbayar dengan harga yang tak sebanding.
Di tengah maraknya pencapaian dan ambisi tersebut, kita kehilangan kelembutan dalam hubungan hangat antarmanusia. Kelelahan kolektif semakin tak terbendung, dan ini bukanlah soal stres kerja semata—ini adalah penggiringan manusia untuk lebih terfokus pada diri pribadi dengan melupakan satu hal penting: bagaimana bekerja bersama untuk memperbaiki lingkungan sekitar.
Di sisi lain, kita tak bisa selamanya terkungkung dalam penderitaan ini. Mungkin kita harus mempertanyakan diri kita sendiri: apakah pencapaian memang segala-galanya, atau apakah yang lebih penting adalah bagaimana kita bisa menghargai setiap langkah kecil yang kita ambil dalam perjalanan ini? Mungkin, dalam perjalanan itu, kita baru mulai menemukan bahwa kelelahan ini adalah cerminan dari apa yang perlu kita perbaiki bukan hanya dalam diri pribadi, tetapi juga dalam masyarakat kita.
Editor Notonegoro