
Oleh Ery Santika Adirasa, SST, MAg – Mubaligh Muhammadiyah
PWMU.CO – Khutbah Jum’at merupakan bagian penting dari ritual peribadatan pada ritual Jum’at oleh umat Islam. Sebagai rangkaian ibadah sebelum shalat Jum’at, khutbah Jum’at berisi pesan-pesan keagamaan, utamanya berkaitan dalam memperkuat iman. Selain itu juga untuk membangun kesadaran sosial dan spiritual jamaah.
Pertanyaannya, seberapa besarkah pengaruh khutbah tersebut terhadap spiritualitas jamaah? Maka jawabannya adalah sangat bergantung pada seperti apa kompetensi khatib. Kompetensi ini mencakup kedalaman ilmu agama, kemampuan retorika, hingga kepekaan terhadap kebutuhan jamaah.
Kompetensi seorang khatib khutbah Jum’at analog dengan sifat-sifatnya Nabi Yusuf, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an Surat Yusuf ayat 55:
قَالَ ٱجۡعَلۡنِي عَلَىٰ خَزَآئِنِ ٱلۡأَرۡضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٞ
“Dia (Yusuf) berkata, ‘Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, dan berpengetahuan.’”
Ayat ini tidak hanya menunjukkan kepiawaian Nabi Yusuf dalam menawarkan diri untuk suatu tanggung jawab besar. Tetapi juga memberikan pelajaran mendalam bagi seorang khatib tentang pentingnya kompetensi dan penguasaan ilmu sebelum mengambil peran kepemimpinan, termasuk di mimbar Jum’at.
Kompetensi khatib menjadi elemen kunci yang mempengaruhi keberhasilan khutbah Jum’at. Sebagaimana Nabi Yusuf alaihis salam menyatakan diri sebagai hafizun ‘alim (orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan), seorang khatib harus memiliki dua kualitas utama. Yaitu:
1. Kemampuan Menjaga Amanah Ilmu (hifz)
Seorang khatib bertanggung jawab untuk menyampaikan pesan agama yang sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah tanpa menyimpangkannya. Dalam QS. Yusuf ayat 55, kata ḥafīẓ menunjukkan integritas dan kemampuan menjaga tanggung jawab besar dengan penuh amanah. Seorang khatib yang kompeten harus mampu menjaga isi khutbahnya agar tetap relevan, berbobot, dan menyentuh aspek spiritual jamaah.
Sayangnya, sering terjadi khutbah Jum’at yang kehilangan esensinya karena khatib tidak memahami pentingnya menjaga substansi ilmu. Isi khutbah yang hanya berupa retorika kosong atau bahkan sekadar membahas isu-isu yang kurang mneyentuh, justru membuat jamaah kehilangan antusiasme terhadap pesan agama yang disampaikan.
2. Penguasaan Ilmu yang Mendalam (‘ilm)
Khatib yang kompeten harus memiliki ilmu agama yang komprehensif, seperti sifat ‘alimnya Nabi Yusuf. Ilmu yang mendalam memungkinkan khatib untuk menyampaikan pesan-pesan keagamaan dengan logis, kritis, dan relevan dengan kondisi jamaah.
Dalam konteks khutbah Jum’at, penguasaan ilmu mencakup pemahaman terhadap Al-Quran, Hadis, tafsir, dan ilmu-ilmu pendukung lainnya, seperti sejarah Islam, akhlak, dan fiqh. Tanpa penguasaan ilmu, khutbah berpotensi menjadi sekadar formalitas yang tidak memberikan dampak signifikan pada spiritualitas jamaah.
Bahasa sebagai alat transformasi spiritualitas
Bahasa merupakan alat utama untuk menyampaikan pesan kepada jamaah. Maka seorang khatib harus memiliki kemampuan berbahasa yang baik. QS. Yusuf ayat 55 menyebutkan bahwa Nabi Yusuf menggunakan bahasa yang jelas, lugas, dan penuh percaya diri untuk menawarkan dirinya sebagai bendaharawan Mesir.
Pilihan kata-kata seperti hafiz dan ‘alim menunjukkan kapasitasnya sekaligus membangun kepercayaan pada orang yang mendengar. Hal ini menjadi pelajaran penting bagi seorang khatib. Karena itu, bahasa yang digunakan dalam khutbah haruslah:
Jelas dan mudah dipahami. Jamaah dalam shalat Jum’at harus bisa memahami bahasa sang khatib. Tingkatn pendidikan, baik yang berpendidikan tinggi maupun masyarakat awam, tidak boleh menjadi penghalang untuk menerima pesan-pesan khatib. Karena itu, pemakaian istilah atau kata yang jamaah awam kesulitan memahami jika tidak ada penjelasan yang cukup, maka hanya akan membuat khutbah kehilangan relevansi.
Inspiratif dan membangkitkan emosi positif. Karena bahasa yang penuh hikmah dan motivasi sangat mungkin mampu untuk menggugah hati jamaah. Sehingga jamaah pun bisa merenungi, mengambil pelajaran, dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Berlandaskan Dalil yang Kuat. Seorang khatib harus mampu menyandarkan khutbahnya pada dalil-dalil dalam Al-Quran dan As-Sunnah dengan penjelasan yang logis dan kritis.
Karena itulah, tidak setiap orang berhak dan bisa untuk menjadi khatib. Peran seorang khatib tidak hanya sekadar menyampaikan khutbah, tetapi juga menjadi pembimbing spiritual dan intelektual bagi jamaah.
Oleh karena itu, penyampaian khutbah oleh seorang yang belum memiliki kompetensi keilmuan, kefasihan dalam berbahasa, serta pemahaman mendalam tentang ajaran Islam tidak menjadi khatib. Karena hal itu justru berpotensi menimbulkan dampak yang merugikan jamaah.
Ada beberapa dampak kurang baik jika khatib tidak memiliki kompetensi yang memadai:
1. Jamaah kehilangan rasa
Kurang kompetensinya seorang khatib dalam menyampaikan khutbah secara baik, terstruktur, dan relevan dapat menyebabkan jamaah merasa bahwa khutbah Jum’at tidak lebih dari sekadar rutinitas formal yang wajib dijalani. Akibatnya, mimbar Jum’at yang seharusnya menjadi pusat penyampaian dakwah yang bermakna akan kehilangan keagungannya di mata jamaah. Hal ini sangat disayangkan, mengingat khutbah Jum’at adalah momen yang seharusnya dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan-pesan agama yang dapat menggugah hati dan pikiran umat Islam.
2. Munculnya pemahaman yang keliru
Seorang khatib yang kurang memiliki penguasaan ilmu agama yang mendalam berisiko menyampaikan informasi yang salah atau bahkan menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Kesalahan semacam ini tidak hanya membahayakan jamaah yang mendengarkan, tetapi juga berpotensi menciptakan kesalahpahaman yang meluas di tengah masyarakat.
3. Minimnya transformasi spiritualitas
Khutbah Jum’at seharusnya menjadi momen yang mampu menyentuh hati jamaah, menggugah kesadaran spiritual mereka, dan mengingatkan mereka akan tanggung jawab sebagai hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jika khutbah yang tersampaikan justru tidak berbobot, tidak relevan, atau bahkan tidak menyentuh isu-isu yang terjadi pada keseharian jamaah. Maka kesempatan untuk mendorong peningkatan spiritualitas akan terlewatkan begitu saja.
Tanpa khutbah yang bermakna, jamaah akan pulang tanpa memperoleh pelajaran atau hikmah yang dapat mendekatkan mereka kepada Allah atau memperbaiki kualitas hidup mereka, baik secara duniawi maupun ukhrawi.
Khutbah sebagai amanah ilmu dan spiritual
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa kompetensi seorang khatib sangatlah penting untuk menjaga keagungan mimbar Jum’at, menyampaikan ajaran Islam dengan benar, dan membawa perubahan positif dalam spiritualitas jamaah. Seorang khatib memikul tanggung jawab besar dalam menyampaikan khutbah Jum’at.
Kompetensi yang mencakup integritas, penguasaan ilmu, dan kemampuan berbahasa menjadi syarat mutlak untuk memastikan khutbah memberikan pengaruh positif pada spiritualitas jamaah.
Sekali lagi, Sebagaimana Nabi Yusuf menunjukkan kelayakannya melalui sifat hafiz dan ‘alim, seorang khatib juga harus memiliki sifat-sifat ini untuk menjaga kemuliaan mimbar Jum’at. Dengan khutbah oleh khatib yang kompeten, jamaah akan lebih mampu meresapi pesan agama, meningkatkan keimanan, dan membangun kesadaran spiritual yang lebih baik. Karena itu, perlu seleksi calon khatib secara hati-hati, agar mimbar Jum’at tetap menjadi sarana dakwah yang efektif dan bermakna. (*)
Editor Notonegoro