PWMU.CO – Dalam perjalanan ke Hotel UMM Inn Malang untuk mengikuti The Master Level Course Tahap 2, kontributor PWMU.CO Ria Eka Lestari berkesempatan menemui beberapa “tokoh jalanan”. Yaitu, orang-orang kecil yang terpinggirkan dan mencoba bertahan hidup dengan perjuangannya sendiri. Tapi dari mereka kita justru bisa belajar tentang kehidupan.
Ini seri pertama dari 4 tulisan perjalanannya. Selamat menikmati. Redaksi.
**
“Sudah pukul 12.47?” gumamku lirih sambil melihat jam di pergelangan tangan kiriku. Terik matahari siang ini membuat tenggorokanku kering.
Tengok kanan, tengok kiri. Maka jatuhlah pilihanku pada deretan warung makan di samping kanan tempat penitipan motor.
“Jeruk nipis hangat, Bu,” kataku pada pemilik warung. Sambil menunggu, pandanganku tertuju pada beberapa sangkar burung yang tergantung di sana. Ada 2 di luar dan 6 lainnya di dalam. Jenis burungnya pun beraneka ragam.
“Monggo Mbak. Mau ke mana?” sapa perempuan, yang agaknya lebih tua dariku itu, sambil meletakkan segelas minuman pesananku di atas meja.
Kami pun berbincang tentang panasnya hari itu (Senin, 30/10/2017) dan seputar burung burung peliharaan suaminya.
Suwati, perempuan asal Grobogan Jawa Tengah itu mengaku baru 1,5 tahun tinggal di Gresik. Dia menjaga warung milik kakaknya di Terminal Bunder sekaligus tinggal di situ bersama suaminya.
“Orang baru Mbak. Jadi sepi belum punya langganan. Kalah sama orang lama,” keluhnya sambil tersenyum.
Sengaja aku berlama-lama di situ sambil menunggu Lyn SG rute Surabaya. Kunikmati segarnya jeruk nipis hangat menghapus dahaga. Ah, kereta masih pukul17.50. Masih ada banyak waktu menuju Stasiun Wonokromo. Jadi kulanjutkan perbincanganku dengannya hingga ia menanyakan tujuan perjalananku.
“Ada acara di UMM, Bu,” jawabku singkat.
“Lho Mbaknya Muhammadiyah to?” suara seorang pria mengagetkanku. Rupanya dia adalah suami Bu Suwati. Pria usia 46 tahun itu bercerita bahwa ia mengenal Muhammadiyah saat mengenyam pendidikan di SMP Muhammadiyah 10 Yogyakarta.
“Saya itu dulu nakal Mbak. Suka bolos. Nggak pernah shalat. Jadi sekolahnya pindah-pindah karena dikeluarkan,” ujarnya sambil duduk di samping istrinya.
Sugeng Widodo namanya. Pernah merasakan sekolah di SMP BOPKRI Yogyakarta. Sugeng —panggilan akrabnya— menyampaikan bahwa tak ada yang spesial saat saya belajar di sekolah Katolik itu. “Ya… masih tetep mbolos Mbak. Males pokoknya. Lha wong saya ndak pernah bawa buku. Hahaha …,” tuturnya sambil tertawa. Sampai akhirnya pindah ke SMP Muhammadiiyah 10 Yogyakarta. Hanya 1 tahun dan pindah lagi ke SMP Muhammadiyah Sono, Yogyakarta.
“Dari dua sekolah itu lho Mbak, saya jadi mau shalat. Ya … sampai sekarang ini,” pungkas pria asal Sleman Yogyakarta ini. Sambil mengganti air minum burung peliharaannya, dia bercerita tentang dua prinsip hidup yang dia pegang sejak lulus SMP hingga sekarang. Doa ibu dan shalat.
“Wes dua itu saja Mbak, saya sudah bahagia. Saya belajar dari Muhammadiyah bahwa agama itu sederhana dan mudah dilakukan. Nggak ribet gitu lho Mbak,” tegasnya.
Tempat yang nyaman disertai semilir angin membuatku lupa waktu. Tak terasa hampir 1 jam kami larut dalam bincang dan tawa. Aku ajak mereka ‘selfi’ meski awalnya malu sebelum akhirnya aku berpamitan.
Dari silaturahmi jalanan ini, alhamdulillah, aku dapatkan dua kunci hidup bahagia, yang terus kurenung-renungkan selama perjalananku ke Malang untuk mengikuti The Master Level Course Tahap 2 Universitas Muhammadiyah Malang.
Oh ya pembaca, numpang promo ya. Yang sedang singgah di Terminal Bunder Gresik, bolehlah mencoba rehat sejenak untuk menikmati hidangan sederhana di warung mereka. (*)