
Oleh Fariz Zakariya Fauzan – Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UINSA
PWMU.CO – Berbicara tentang teori Big Bang, alam semesta ada karena adanya proses singularitas, yakni sebuah titik yang sangat padat. Titik tersebut juga sangat panas, kemudian terpecah dan menimbulkan alam semesta yang saat ini kita ketahui, seperti planet-planet, bintang-bintang, dan lain-lain.
Mengutip dari Cosmic Horizons: Astronomy at the Cutting Edge, salah satu tokoh pencetus teori Big Bang adalah Georges Lemaitre, seorang ahli kosmologi dari Belgia. Dalam berbagai makalah yang ia tulisnya, pemikiran Georges Lemaitre sering kali menjadi sorotan para astronom pada masa itu. Georges Lemaitre memiliki gagasan bahwa alam semesta berawal dari sebuah “atom purba” yang bernama partikel tunggal (singularitas). Atom purba tersebut memanas dan hancur dengan ledakan, kemudian muncullah alam semesta yang saat ini kita huni. Dari fenomena tersebut, timbullah sebuah teori yang para astronom dan ahli kosmologi percaya. Teori tersebut kemudian bernama teori Big Bang.
Meski demikian, teori Big Bang masih menjadi perdebatan khusus dalam disiplin ilmu fisika dan kosmologi. Sebagian fisikawan kuantum menolak konsep singularitas dan berpendapat bahwa alam semesta berasal dari siklus berulang.
Pandangan ini melahirkan teori bernama Big Bounce, sebuah teori yang menyatakan bahwa alam semesta tidak semata-mata ada karena singularitas, melainkan melalui ekspansi dan kontraksi yang terjadi secara berulang. Artinya, sebelum terbentuknya alam semesta yang kita ketahui saat ini, sudah ada alam semesta sebelumnya.
Di sisi lain, dalam teori gravitasi kuantum yang dikenal dengan Loop Quantum Gravity, tidak menganggap singularitas sebagai dasar utama dalam pembentukan alam semesta. Sebaliknya, percaya bahwa alam semesta terbentuk karena adanya gesekan atau kontraksi. Efek dari kuantum juga membuktikan bahwa kepadatan yang sangat tinggi justru mencegah terjadinya singularitas.
Sejak tahun 1992, sebagian peneliti yang ahli di bidang kosmologi masih terus menganalisis teori Big Bounce secara lebih mendalam. Meskipun hingga kini belum ada jawaban yang valid mengenai asal usul alam semesta dan apakah ia benar-benar mengalami siklus ekspansi serta kontraksi. Teori ini pun menjadi salah satu alternatif dalam memahami kosmologi.
Perspektif Teosentris
Jika melihatnya dari sudut pandang teosentris, teori Big Bounce dapat direfleksikan sebagai teori yang lebih absolut dan selaras dengan ajaran agama (Islam). Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 29, menyebutkan:
“Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu, kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka menjelaskan bahwa manusia sangat terbatas dalam menghitung masa penciptaan alam semesta, karena ruang dan waktu yang membatasi pemahamannya. Ia juga menegaskan bahwa sejauh mana pun akal manusia berusaha memahami penciptaan alam semesta, pada akhirnya semua akan kembali kepada Al-Qur’an.
Dalam hal ini, jika kita memahami sifat transendental Tuhan, maka satu-satunya yang mengetahui secara sempurna asal mula penciptaan alam semesta adalah Tuhan itu sendiri sebagai substansi awal dari segala penciptaan.
Dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raf ayat 54, Allah menegaskan bahwa Dia telah menciptakan alam semesta dalam enam masa. Selain itu, ayat ini menegaskan bahwa penciptaan alam semesta terjadi secara teratur dan struktural, baik yang dapat terlihat oleh indra manusia maupun yang tidak.
Melalui pendekatan teosentris, dapat Kesimpulan bahwa teori Big Bounce memiliki relevansi yang lebih signifikan. Meskipun masih bersifat spekulatif dan memerlukan penelitian lebih 55lanjut, teori ini tampak lebih selaras dengan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah menciptakan alam semesta secara terstruktur. Artinya, sebelum alam semesta yang kita kenal saat ini, ada kemungkinan keberadaan alam semesta lain yang tidak dapat terjangkau oleh indra manusia karena keterbatasan ruang dan waktu.
Jika kita menafsirkan Al-Qur’an dalam konteks kosmologi dan sains secara lebih mendalam dan kontekstual, pasti keyakinan kita terhadap Allah sebagai Tuhan pun semakin bertambah. Tidak ada manusia mana pun yang mampu menjelaskan penciptaan alam semesta ini secara rinci dan struktural sebagaimana yang terjelaskan dalam Al-Qur’an.
Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-qur’an Surah Al-Anbiya ayat 4, yang menegaskan bahwa penciptaan alam semesta pada hakikatnya adalah rahasia Tuhan yang tidak sepenuhnya manusia dapat mengetahuinya. Karena manusia terbatas oleh ruang dan waktu, Tuhan memberikan akal kepada mereka agar senantiasa memikirkan fenomena alam semesta dengan menempatkan Tuhan sebagai pusatnya serta menyadari sifat transendental-Nya. (*)
Editor Notonegoro