
oleh Alfiah Sufiani – POSBAKUM PW Aisyiyah Jawa Timur
PWMU.CO – Dalam Qur’an Surat (QS) Al A’raf 56, Allah berfirman: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan dimuka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”.
Sedang dalam QS. Ar-Rum 41, Allah berfirman: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Pada tahun 2023 lalu, yang dilaporkan pada tahun 2024, total konflik agraria di Indonesia mencapai 241 kali, dengan sengketa lahan seluas 638.188 hektar. Sengketa lahan itu meliputi sengketa tanah pertanian, wilayah adat, wilayah tangkap dan pemukiman yang berdampak pada 135.608 KK.
Dari letusan konflik agraria sebanyak itu, 110 letusan menelan korban sebanyak 608 orang pejuang hak tanah, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka menjadi korban dari tindakan represif aparat pada wilayah konflik agraria. Di Jawa Barat konflik agraria di lahan seluas 32.302 hektar. Sedang di Jawa Timur konflik agraria melibatkan lahan seluas 29.521 hektar. Dan di Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan 61 konflik agraria seluas 67.196 hektar, dengan korban 14.916 KK.
Hutan sebagai lahan kosong
Sejarah mencatat bahwa konflik agraria rentan melemahkan posisi perempuan yang berjuang mempertahankan sumber daya alam yang berupa sumber daya agraria. Konflik ini umumnya muncul sebagai akibat dari adanya ketidakserasian dan kesenjangan terkait sumber-sumber agraria, yang berupa sumber daya alam (SDA) dan wilayah kelolanya.
Pada umumnya konflik agraria melibatkan banyak pihak dan banyak aturan serta perundangan-undangan. Awalnya konflik terjadi pada saat terbit surat ijin/hak pemanfaatan oleh pejabat publik yang mengekslusi sekelompok rakyat dari tanah, SDA, dan wilayah kelolanya. Akses yang telah dipunyai sekelompok rakyat itu dibatasi, dan bahkan dihilangkan sepenuhnya.
Akses dengan makna sebagai “kemampuan untuk mendapat manfaat dari sesuatu, termasuk objek-objek material, orang-orang, institusi-institusi dan simbol-simbol. Sedangkan eksklusi bermakna sebagai “cara-cara mencegah orang lain untuk mendapatkan manfaat dari sesuatu (lebih khususnya, tanah dan sumber daya alam).
Pada saat yang sama, Pulau Jawa berada pada kondisi krisis ruang terutama dalam kawasan hutan. Pada zaman kolonial, menganggap hutan sebagai lahan kosong yang bisa dikelola sesiapapun, namun bisa dirampas kapanpun dengan atas nama kepentingan negara. Dan inilah mengapa intensitas konflik agraria di Pulau Jawa meningkat dengan luas lahan yang disengketakan mencapai ribuan hektar.
Persoalannya, 1) apa saja yang melatari konflik agraria sehingga menjadi konflik yang berkepanjangan? Dan, 2) Apa yang dapat dilakukan organisasi perempuan untuk melakukan penguatan hak-hak perempuan dalam memitigasi konflik agraria yang berkepanjangan?
Latarbelakang Munculnya Konflik Agraria
Minimal terdapat 4 (empat) faktor yang menyulut terjadinya konflik agraria dan kekerasan dalam pengelolaan sumber daya alam dan kekayaan alam, yaitu:
Satu, diadopsinya konsep teritorialisasi negara atas sumber-sumber agraria. Proses teritorialisasi agraria oleh negara, seperti (a) penguasaan dan pemetaan kawasan hutan yang mengabaikan hutan masyarakat adat dan masyarakat yang mendiami wilayah tersebut. (b) Pemaksaan penguasaan oleh negara atas wilayah adat, termasuk kekayaan alam dan sumber-sumber kehidupan yang ada pada wilayah adat tersebut. (c) Pengklasifikasian semua wilayah hutan, dan hutan yang sebagai hak milik masyakat menjadi sebagai hutan negara. Kebijakan dengan logika teritorialisai agraria ini yang selalu menjadi pemicu dan penggerakan terjadinya perampasan agraria.
Dua, adanya kebijakan pembangunan yang berbasis pada komodifikasi alam. Logika ini meletakkan alam sebagai barang yang bisa diperdagangkan, terutama untuk memenangkan kepentingan negara sebagai sebuah entitas yang serupa entitas bisnis yang tidak bekerja untuk kepentingan rakyat. Umumnya negara memberikan hak konsesi hutan, perkebunan dan pertambangan kepada perusahaan-perusahaan besar. Dan seperti yang bisa diprediksi, acap kali para perempuan di wilayah itu rentan menjadi korban perdagangan manusia.