Tiga, pendekatan militeristik dalam pengelolaan sumber-sumber agraria. Praktik dari pendekatan ini dapat terlacak dalam pengelolaan hutan. Izin penguasaan hutan banyak diberikan kepada institusi militer dan para militer. Peran perusahaan di dalamnya hanya menyediakan modal dan jaringan ke pasar. Perusahaan swasta yang memperoleh konsesi pembalakan hutan, umumnya memiliki relasi yang cukup kuat dengan berbagai organisasi yang dikelola oleh keluarga militer, termasuk beragam yayasan yang dikelola oleh militer.
Empat, adanya kuasa eksklusi yang meniadakan peran dan keberadaan masyarakat adat. Dominasi negara atas wilayah adat dan ekstrasi hutan serta sumber-sumber kehidupan (dan penghidupan) yang berada di wilayah adat, seringkali meniadakan eksistensi dan kehidupan masyarakat adat, dan berlangsung ratusan tahun. Perempuan dan kelompok marginal lainnya tidak memiliki posisi tawar. Sehingga Perempuan seringkali dianggap tidak penting, baik bagi masyarakat adat, apatah lagi bagi pemerintah. Perempuan juga dianggap tidak mampu untuk mengambil keputusan terhadap wilayah agraria yang disengketakan, keberadaannya pun dianggap tidak ada.
Organisasi Perempuan untuk mitigasi konflik agraria
Konstitusi telah menjamin hak perempuan melalui Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) dengan menyatakan bahwa tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah, serta mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarga. Maka, sudah semestinya kaum perempuan terjamin haknya, termasuk untuk terlibat dalam perjuangan hak atas tanah. Tidak banyak organisasi yang terlibat aktif melakukan advokasi terhadap hak-hak perempuan dalam konteks ke-agraria-an dan ekonomi berkeadilan.
Kita harus memahami bahwa konflik agraria memiliki dampak sosial ekonomi yang signifikan bagi masyarakat yang terlibat. Dampak tersebut meliputi kerugian ekonomi, kerusakan lingkungan, ketegangan sosial, dan pelanggaran hak asasi manusia. Padahal masyarakat — termasuk perempuan — memiliki hak yang terkait dengan tanah dan SDA, yaitu hak untuk hidup dan berpenghidupan yang layak, hak atas pekerjaan, hak atas kesejahteraan, hak atas kesehatan, hak reproduksi, hak atas air dan sanitasi, hak atas kepemilikan tanah, dan sebagainya.
Bagi kaum Perempuan, hilangnya hak atas tanah dan adanya kerusakan (pengrusakan?) SDA bukan semata hilangnya sumber ekonomi. Hilangnya hak tersebut dapat berakibat perlakuan diskriminatif, kekerasan seksual, penurunan kesehatan reproduksi. Dan yang pasti hilangnya pelindungan hak-hak dasar perempuan.
Pentingnya peran Aisyiyah
Sebagai salah satu organisasi perempuan tertua, sudah semestinya “Aisyiyah” masuk dan terlibat dalam pusaran keagrariaan ini. Aisyiyah dapat mendorong agar pemerintah dan pemangku jabatan melibatkan perempuan dalam proses pengambilan keputusan terhadap pemanfaatan SDA yang ada di wilayahnya.
Aisyiyah Jawa Timur memiliki perangkat organisasi yang sangat kuat untuk penguatan hak-hak perempuan, mendorong afirmasi politik ke-agraria-an serta bersama stakeholders yang ada berupaya untuk melakukan mitigasi konflik agraria pada masa mendatang.
Berikut beberapa hal yang dapat Aisyiyah lakukan:
1. Membangun komunikasi yang aktif, sehat dan efektif kepada pemegang kebijakan (pemerintahan) agar dalam setiap kebijakan yang berkaitan dengan agraria, minimal pemerintah melibatkan perempuan dan masyarakat adat di sekitar SDA dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan.
2. Penguatan hak perempuan untuk meningkatkan kapasitas perempuan agar dapat menjadi mitra pemerintah ketika berproses dalam pengambilan kebijakan terkait keagrariaan. Termasuk juga terlibat aktif dalam hal pendampingan pada keluarga terdampak.
3. Meningkatkan kemampuan literasi keuangan perempuan dalam mengelola dan mengolah SDA menjadi produk bermanfaat bagi keluarga dan lingkungannya. Serta dapat menghasilkan produk yang ramah lingkungan dan memiliki value yang tinggi.
4. Melakukan advokasi lingkungan pada perempuan, tentang keanekaragaman hayati dan menjada ekologi lingkungan
Editor Notonegoro