
Oleh Bening Satria Prawita Diharja – Guru PJOK SMP Muhammadiyah 1 Gresik
PWMU.CO – Viral melalui jagad media sosial (medsos), seorang guru pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan (PJOK) sedang mengajarkan cara menyetrika dan melipat baju kepada para siswanya pada saat Pelajaran. Pak guru PJOK itu bernama Dede Sulaeman. Pak Dede adalah guru Sekolah Dasar Negeri (SDN) Cinyawar Desa Ciloto, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Videonya yang viral itu sudah ditonton oleh netizen sebanyak 2 juta kali. Terlihat Pak Dede memeragakan bagaimana menyetrika baju di hadapan para siswanya. Tampak pula anak-anak yang diajarnya antusias mengikuti praktik menyetrika.
***
Dalam konteks pendidikan, pembelajaran hakikatnya tak sekadar berorientasi pada kecerdasan kognitif, tapi juga afektif dan psikomotorik. Tidak hanya berkaitan dengan akal rasional, tapi juga dengan akal budi. Jadi, tidak hanya bermuara pada ilmu pengetahuan, tapi juga tingkah laku, karakter dan adab. Menanamkan nilai-nilai afektif sejak dini merupakan usaha untuk membangun manusia berkarakter.
Proses pembudayaan dan pemberdayaan nilai-nilai afektif dapat terlaksana dengan baik apabila dilakukan di satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Pada tingkat satuan pendidikan gerakan pembudayaan nilai-nilai afektif dilakukan terintegrasi dengan proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) pada setiap mata pelajaran, melalui pembiasaan pada kehidupan sehari-hari.
Semua peserta didik mempunyai modalitas belajar yang beragam, antara lain belajar dengan audio-visual, belajar dengan berkelompok, serta praktik secara langsung dalam proses belajar.
***
Generasi muda saat ini lebih dekat dengan pertikaian, individualis dan a-sosial sebagai residu kemajuan teknologi komunikasi (baca: medsos). Pendidikan yang terjadi saat ini, cenderung lebih menonjolkan aspek kognitif. Akibatnya, peserta didik mengalami tekanan psikis — yang akibat ikutannya adalah pemberontakan, kekecewaan, dan keputusasaan pada siswa. Gejala tekanan psikis itu kemudian memunculkan sikap ketidakpedulian anak-anak terhadap lingkungan sekitar.
Pengabaian aspek afektif dan psikomotorik telah merampas hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang berkelanjutan dan berkarakter kebangsaan. Salah satu penyebab hal tersebut adalah sistem dan model pendidikan yang diterapkan. Sistem tersebut biasanya bersifat sentralistik dengan model pendidikannya yang klasik.
Karena itu, memahami pendidikan masa kini harus menempatkannya sebagai seni yang dapat menumbuhkan dimensi moral, emosional, fisikal, psikologikal, serta spiritual dalam perkembangan anak.
Mencermati hal itu, pentingnya peranan guru PJOK pada lembaga pendidikan Muhammadiyah untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik agar terlibat secara langsung dalam aneka pengalaman belajar. Melalui aktivitas jasmani, bermain dan olahraga perlu melakukannya secara sistematis. Pembekalan pengalaman belajar itu mengarah pada pengembangan nilai nilai kesehatan, kebugaran jasmani dan nilai-nilai afektif sepanjang hayat. Nilai-nilai afektif seperti kejujuran, fair play, sportif, empati, simpati, berbicara santun, sikap mental yang baik, harus menjadi bagian integral dari PJOK.
Gaya pembelajaran konvensional pada beberapa guru Muhammadiyah yang masih mengutamakan kemampuan kognitif, dan cenderung mengabaikan kemampuan afeksi dan psikotorik perlu sedikit demi sedikit untuk berubah. Salah satunya dengan menerapkan teaching personal personal and social responsibility (TPSR).
TPSR merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan atau merubah aspek afektif secara menyeluruh, seperti sikap tanggung jawab, self-efficacy, moral serta karakter. Selain itu, TPSR juga merupakan model yang mengajarkan agar peserta didik dapat bertanggung jawab secara personal maupun sosial melalui pembelajaran PJOK. TPSR berkembang dengan pesat dan banyak praktisi olahraga, guru, dosen maupun peneliti yang mencoba untuk menerapkannya dalam konteks pembelajaran PJOK, aktivitas fisik, ekstrakurikuler hingga klub olahraga.
Agar dapat mencapai tujuannya, penerapan model pembelajaran TPSR harus:
- Pada level I (respek). Menyeterika serta melipat baju memang pekerjaan yang sulit bagi peserta didik yang berada pasda fase B, meski bukan berarti tidak bisa melakukan. Pentingnya guru PJOK dalam menerangkan tahapan dalam proses kegiatan kepada peserta didik sampai tuntas. Tidak lupa juga memberikan reward atau ucapan selamat kepada anak-anak yang mampu mencapai tujuan pembelajaran dengan baik. Materi ini berguna untuk meningkatkan sikap respek dan moral knowing.
- Pada level II (parstisipasi dan usaha). Materi ini merujuk pada kegiatan menyeterika serta melipat baju oleh seluruh peserta didik. Peserta didik wajib mengikuti dan berusaha untuk menyelesaikan tugas pemberian guru PJOK tersebut.
- Pada level III (kemandirian). Materi menyeterika serta melipat baju sebagaimana yang dilakukan Pak Dede, merupakan cara untuk meningkatkan sikap kemandirian dan moral action.
- Pada level IV (kepedulian). Setiap peserta didik wajib membantu teman belajarnya ketika menghadapi kesulitan menyeterika baju. Materi ini untuk meningkatkan sikap kepedulian dan moral feeling serta moral action.
- Pada Level V (implementasi level I – level IV). Materi ini secara kontekstual tidak hanya mengait pada pembelajaran pendidikan jasmani, tetapi juga lingkungan masyarakat hingga pada bidang kehidupan. Cara ini menjadi media positif bagi orang lain, terutama anak-anak.
***
Guru PJOK pada Sekolah Muhammadiyah pada umumnya hendaklah dalam suatu pembelajaran menjadi holistik. Jadi, tidak hanya mengajarkan keterampilan motorik dan kedisiplinan, tetapi juga membentuk kemandirian anak sejak dini.
Mengutip tulisan Angela Lumpkin dalam sebuah jurnal yang berjudul “Teacher as Role Models Teaching Character and Moral Virtues”, menyebutkan “In character education, it’s clear we want our children are able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right-even in the face of pressure from without and temptation from within.” Terjemahan bebasnya dalam Bahasa Indonesiakan berbunyi “Dalam pendidikan karakter, jelas kita ingin anak-anak kita mampu menilai mana yang benar, sangat peduli dengan apa yang benar, dan kemudian melakukan apa yang mereka yakini benar-bahkan dalam menghadapi tekanan dari luar dan godaan dari dalam”.
Dengan demikian, harapannya peserta didik dapat memahami tentang nilai-nilai kejujuran, kepercayaan, tanggung jawab, peduli, menghormati, ketekunan, keberanian, keadilan, integritas, dan kewarganegaraan.
Editor Notonegoro