
PWMU.CO – Menjelang datangnya bulan suci Ramadan, Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur menggelar diskusi bertema Euforia Ramadan: Antara Tradisi, Konsumerisme, dan Kesederhanaan di Kantor PWM Jatim, Kertomenanggal, Surabaya, Jumat (21/2/2025).
Acara ini diadakan secara luring dan daring serta menghadirkan beberapa narasumber yang membahas berbagai perspektif tentang persiapan Ramadan.
Tradisi dan Pembaruan Keagamaan
Wakil Ketua PWM Jatim, Ustadz Syamsuddin MAg dalam pemaparannya menyampaikan bahwa masyarakat beragama umumnya melakukan sesuatu berdasarkan aturan agama yang mereka pahami. Namun, di wilayah Pantura misalnya, ekspresi keagamaan sering kali dipengaruhi oleh tradisi yang berkembang turun-temurun.
“Sering kita jumpai pengkultusan makam wali, peringatan khol yang digelar meriah menjelang Ramadan, hingga kebiasaan unik seperti nelayan yang menghidangkan ikan spesial pada sahur pertama,” jelasnya.
Ia mengingatkan agar persiapan Ramadan lebih difokuskan pada kesiapan rohani, bukan hanya aspek visual yang cenderung memicu peningkatan konsumsi.
Ramadan dan Lonjakan Konsumerisme
Ketua Korps Mubaligh Muda PWM Jatim, Ustadz Afifun Nidlom SAg MPd MH, menyoroti bagaimana menjelang Ramadan, harga kebutuhan pokok cenderung naik akibat meningkatnya permintaan masyarakat.
“Ada beberapa tradisi yang kerap dilakukan masyarakat, seperti Dandangan (masak besar), Megengan (ziarah kubur), dan Wewehan (saling memberi makanan). Jika tradisi ini tidak menyimpang dalam akidah, maka boleh saja dilakukan,” terangnya.
Ia juga menambahkan bahwa kalangan Salafi justru menyiapkan Ramadan enam bulan sebelumnya dengan lebih fokus pada persiapan spiritual.

Menjaga Keseimbangan Ekonomi
Sementara itu, anggota Majelis Ekonomi, Bisnis, dan Pariwisata PWM Jatim, Ustadz Ir Iman Supriyono MM, menegaskan bahwa puasa seharusnya dapat mengurangi konsumsi hingga dua pertiga, karena waktu makan hanya berkisar 4–5 jam dalam sehari.
Namun, ia menyoroti bahwa banyak umat Islam yang kurang sabar dalam mengembangkan bisnis, berbeda dengan budaya ekonomi di negara-negara maju.
“Di China, pengusaha bisa menunggu hingga 17 tahun sebelum menikmati hasil usahanya. Sementara di Barat, budaya investasi sangat kuat. Mereka hanya membelanjakan sekitar 50–60 persen dari pendapatan, sisanya diinvestasikan agar ekonomi terus tumbuh,” jelasnya.
Diskusi yang dimoderatori oleh Ustadz Amsikul Ma’arif SAg, ini menjadi ajang refleksi bagi umat Islam dalam menyambut Ramadan. Dengan menjaga keseimbangan antara tradisi, konsumsi, dan kesederhanaan, diharapkan Ramadan dapat dijalani dengan lebih bermakna dan penuh keberkahan.
Penulis Azrohal Hasan Editor Alfain Jalaluddin Ramadlan