PWMU.CO – Setelah menulis kisah “orang kecil”, sepasang suami-istri yang bertahan hidup dengan berjualan di Terminal Bunder, Gresik, kontributor PWMU.CO Ria Eka Lestari kali ini berbagi cerita tentang seorang remaja tunanetra di Stasiun Wonokromo.
Inilah seri 2 dari 4 catatan perjalanannya ke Malang untuk mengikuti The Master Level Course Tahap 2 di Hotel UMM Inn. Selamat menikmati. Redaksi.
**
Subhanallah, lagi-lagi Allah memperlihatkan kuasa-Nya padaku. Hari itu aku seperti diberi Allah buku besar: berisi bab-bab tentang kehidupan.
Di dalamnya aku ditunjukkan banyak hal: takdir, kerja keras, sabar, optimis, rezeki, kasih sayang, atau bagaimana saling menguatkan.
Ya, sore itu (30/10/17), aku diperjumpakan oleh Allah dengan makhluk istimewa, yang kemudian menjadi salah satu “guru” dalam perjalanan hidupku.
**
“Wiwin,” jawabnya, masih memegang microphone di tangan kanannya. Gadis 20 tahun itu menjawab singkat sapaanku. Wajahnya seperti warga keturunan. Kulitnya putih dengan rambut pendek berponi. Aku tidak mengatakan matanya sipit karena terus tertutup. Difabel? Ya.
“Putri Bapak?” tanyaku pada pria paruh baya di sampingnya. Sambil menyiapkan keyboard di hadapannya, ayah 4 anak ini menceritakan bahwa Wiwin tunanetra sejak lahir. Lulus SMA tidak melanjutkan kuliah. “Ya tiap hari di sini sama saya dan ibunya,” jawab laki-laki yang biasa dipanggil Pak Yuli itu.
Dia bersyukur karena Wiwin adalah putri yang tangguh. Salah satu buah ketangguhan itu, Walikota Surabaya Tri Rismaharini pernah menyekolahkan Wiwin kelas vokal di Purwacaraka Music School.
Pemilik nama lengkap Winarsih itu pun menyanyikan tembang kenangan. Suaranya yang merdu bak artis ibukota menyihir para penumpang kereta api. Semua orang tampak menikmati. Termasuk aku, yang berdiri di sampingnya. Terpaku melihatnya berjuang dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Wiwin mengingatkanku pada judul penelitian yang kupresentasikan di UMM Inn. “Layanan Fasilitas Publik Bagi Difabel Gresik”. Wiwin membutuhkan itu untuk berekspresi. Dia butuh guiding block tunanetra di semua fasilitas publik. Dia butuh toilet khusus. Mataku pun mencari ke sana kemari untuk memastikan apakah sudah tersedia?
Jawabannya belum. Aku tak menemukannya. Sedih. Tapi semangatnya berkarya membuat senyumku kembali kulihatkan di depannya, meski Wiwin tak kan pernah melihatnya.
Kudekati perempuan berjilbab yang duduk di kursi tak jauh darinya. Aku mengenalnya sebagai Dian, wanita tangguh yang melahirkan dan membesarkan Wiwin. “Berat rasanya menerima kenyataan saat kelahirannya, Mbak,” keluhnya sambil memegang tangan kananku. Erat. Mungkin naluri sesama ibu yang membuatku seperti ikut merasakan kesedihannya saat itu.
“Tapi sekarang saya bangga pada putri saya dan justru dia yang menguatkan saya,” imbuhnya. Bu Dian menyampaikan bahwa sejak kecil, setiap menjelang tidur, dia selalu membacakan cerita-cerita motivasi untuk Wiwin. Dia ingin Wiwin tumbuh menjadi gadis yang percaya diri dan kuat dalam keterbatasannya.
“Doa dan harapan, dua itu yang kami pegang Mbak,” tutupnya sambil memelukku.
Tak terasa air mataku menetes perlahan. Ramainya Stasiun Wonokromo petang itu seperti tak kurasakan. Seolah waktu berhenti hingga suara klakson angin (air horn) yang berasal dari kereta api Penataran mengagetkanku. “Selamat ya Ma, Allah lebih sayang Mama. Doakan saya juga bisa menjadi ibu yang tangguh untuk putri saya,” kataku sambil melepaskan pelukan kami.
“Doa dan harapan,” kuulang-ulang terus dua kata itu. Aku yakin, Allah menitipkan pesan itu untukku lewat Wiwin.
Sampai jumpa, Wiwin. Kau punya orangtua hebat sejak kecil yang selalu siap mendampingimu. Dan kini, kau punya aku, yang akan selalu menyebutmu dalam doa.
Untuk pembaca catatan perjalanan ini yang sedang singgah di Stasiun Wonokromo Surabaya, nikmati lagu-lagu indah dari Wiwin dan siapkan donasi terbaik untuknya. (*)