
PWMU.CO – Krisis lingkungan yang semakin nyata menuntut aksi konkret dari berbagai elemen masyarakat. Menyadari peran penting agama dalam menjaga kelestarian bumi, Eco Bhinneka Muhammadiyah dan GreenFaith Indonesia menggelar Forum Group Discussion (FGD) di Pekanbaru, Riau pada Rabu (26/2/2025).
Acara ini diikuti oleh 42 peserta dari beragam latar belakang, termasuk tokoh agama, ahli lingkungan, organisasi lintas iman, serta perwakilan kelompok disabilitas. Dari jumlah tersebut, 14 peserta merupakan perempuan. Kegiatan ini mendapat dukungan dari Bappenas serta Kantor Persemakmuran dan Pembangunan Luar Negeri Pemerintah Inggris melalui Oxford Policy Management Limited (OPML).
Dengan tema “Keterlibatan Agama dan Lintas Iman dalam Mengelola Risiko Lingkungan”, diskusi ini bertujuan untuk merumuskan langkah konkret dalam menghadapi tantangan lingkungan. Para peserta sepakat mencari solusi strategis guna mendukung pembangunan rendah karbon di Indonesia.
Diskusi ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan yang berlangsung di tiga kota, yaitu Sawahlunto, Ambon, dan Pekanbaru.
FGD ini menjadi langkah awal kolaborasi antarumat beragama dalam upaya menjaga lingkungan. Hasil diskusi akan disampaikan kepada Kementerian Bappenas sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.
FGD ini merupakan bagian dari Inisiatif Pembangunan Rendah Karbon Fase-2 (LCDI2), yang bertujuan untuk mengintegrasikan peran organisasi keagamaan dalam mengatasi tantangan lingkungan. Rekomendasi dari forum ini akan menjadi dasar untuk memperkuat kapasitas organisasi keagamaan dalam mendukung pembangunan rendah karbon di Indonesia.
Agama sebagai Kekuatan Transformasi Lingkungan
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Riau, Dr HM Rasyad Zein, menekankan bahwa pendekatan lintas agama adalah solusi efektif dalam menghadapi krisis lingkungan.
“Semua agama mengajarkan nilai-nilai luhur untuk menjaga keseimbangan alam,” ujarnya.
Sementara itu, Manajer Program GreenFaith Indonesia, Parid Ridwanuddin menyoroti bahwa isu lingkungan seperti perubahan iklim, deforestasi, dan polusi telah menjadi ancaman serius bagi kehidupan manusia.
“Di Indonesia, dampak kerusakan lingkungan tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga mengancam kesehatan, ekonomi, dan keamanan masyarakat,” tuturnya.
Ia menegaskan bahwa ajaran agama yang menekankan pelestarian alam dapat menjadi landasan kuat untuk mendorong aksi nyata.
“Agama bukan hanya soal ibadah, tetapi juga mencerminkan tanggung jawab moral terhadap lingkungan,” tambahnya.
Jihad Ekologis: Perlawanan terhadap Krisis Lingkungan
Sementara itu, Ketua Majelis Lingkungan Hidup Muhammadiyah Riau, Dr Muhammad Ikhsan, menekankan bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari maqasid syariah (tujuan syariah). Ia menyoroti peran organisasi keagamaan dalam mengedukasi masyarakat, mempengaruhi kebijakan, dan mendorong praktik ramah lingkungan dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, Akademisi yang juga Aktivis lingkungan, Dr Elviriadi MSi menyoroti angka deforestasi yang mencapai 11.000 hektar per tahun di Riau. Ia menyerukan perlunya “Jihad Ekologis”, yaitu keterlibatan aktif agama dalam melawan krisis lingkungan yang disebabkan oleh degradasi moral dan spiritual.
“Agama harus menjadi kekuatan transformatif dalam menegakkan keadilan ekologis,” tegasnya.
Dalam kesempatan ini, Sekretaris Umum PGI Wilayah Riau, Pdt Masieli Zendrato juga mengajak gereja untuk menjadi “Eco Church”, yaitu gereja yang ramah lingkungan dan aktif dalam advokasi lingkungan.
“Gereja tidak hanya harus berbicara, tetapi juga bertindak nyata dalam menjaga ciptaan Tuhan,” tuturnya.
Sementara itu, Perwakilan Persatuan Umat Buddha Provinsi Riau, Jonno menekankan pentingnya regulasi yang tegas dalam pengelolaan lingkungan.
“Tanpa kebijakan yang kuat, upaya pelestarian lingkungan akan sia-sia,” ucapnya.
Ia juga menyoroti perlunya keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam, terutama dalam menyelesaikan konflik lahan.
Hal serupa juga disampaikan oleh Wakil Bendahara Majelis Ulama Indonesia, Jaelani yang menegaskan pentingnya penegakan hukum yang tegas dalam pelestarian lingkungan. Selain itu, perwakilan dari PGI, Frans bahkan mengusulkan hukuman berat bagi perusak lingkungan sebagai bentuk komitmen terhadap keadilan ekologis.
Kesadaran Kolektif untuk Masa Depan Bumi
Sebagai penutup, Wirdati Irma, Ketua LLHPB PW ‘Aisyiyah Riau, menekankan pentingnya penyadaran masyarakat mengenai isu lingkungan.
“Seharusnya kita tidak hanya menjadi penikmat lingkungan, tetapi juga penjaganya,” tegasnya.
Ia mencontohkan kampanye edukasi di sekolah-sekolah tentang pelestarian gambut dan mangrove sebagai langkah nyata dalam membangun kesadaran generasi muda.
Diskusi ini menunjukkan bahwa agama bukan sekadar keyakinan spiritual, tetapi juga motor perubahan sosial dalam menghadapi krisis lingkungan. Dengan kolaborasi lintas iman, diharapkan muncul aksi-aksi nyata yang mampu menjaga keberlanjutan lingkungan demi generasi mendatang. (*)
Penulis Sukowati Utami Editor Ni’matul Faizah