PWMU.CO – Apa yang terjadi jika aktivis Muhammadiyah menjadi instruktur dalam sebuah acara yang diselenggarakan Fatayat NU? Bisa ditebak: seru!
Adalah Dian Rahma Santoso MPd yang dimaksud. Sehari-hari dia menjadi dosen di Program Studi Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida).
Selain itu, Dian—begitu biasa dipanggil—adalah salah satu anggota Lembaga Informasi dan Komunikasi (LIK) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim.
Tapi yang membuat dia bisa masuk ke “sarang” kaum Nahdliyin adalah kecakapan dan pengalamannya menjadi MC alias pembawa acara.
Di depan 140 orang yang berkumpul dalam acara Whorkshop on MC and Public Speaking Fatayat NU Anak Cabang Trowulan, di Trowulan, Mojokerto, Ahad (5/11) lalu, ia membagi pengalamannya selama menjadi master of ceremony (MC) di berbagai acara bergengsi.
“Kebanyakan orang beranggapan bahwa menjadi MC hanya sekadar mengucapkan kata-kata,” begitu Dian membuka acara.
Padahal, menurutnya, MC penentu kesuksesan sebuah acara. “Acara sekecil apapun, bisa terasa besar karena pengaruh intonasi, power suara, dan keluwesan MC saat membawakan sebuah acara,” urai Dian yang sukses membawakan acara Milad Muhammadiyah ke-104 Tahun 2016 di Stadion Bangkalan, yang dihadiri 50 ribu peserta.
Sebaliknya, tuturnya, acara besar akan terasa kecil jika MC-nya tidak mampu menghidupkan acara. “Maka, menjadi MC tidak boleh asal bunyi. Ada tekniknya tersendiri,” ucapnya.
Dian yang juga menjadi staf Humas Umsida itu lalu meminta beberapa perwakilan peserta untuk tampil membawakan sebuah acara.
Dian pun terkejut. Sebab, ternyata ketika mereka tampil sebagai MC, gayanya seperti membawakan acara diba’an atau walimahan. “Semua berintonasi sama seperti akan ceramah. Inilah yang sering disalahpahami oleh banyak MC pemula,” cerita Dian pada PWMU.CO, Selasa (7/11/17) pagi.
Mereka, jelas Dian, tidak mampu membedakan kapan harus menjadi penceramah, pembicara seminar, atau menjadi MC.
“Nada dan gaya mereka dalam membawakan acara persis dengan saat kali pertama saya jadi MC di acara pentas seni santri, waktu itu saya SMP kelas 2,” cerita Dian. Padahal ibu-iubu muda Fatayat NU itu umurnya sekitar 20-49 tahun.
Dari situ, istri Honoris Setiahadi in mendapat bahan untuk memberi sentuhan pada para perempuan muda NU itu. Dian lalu memberikan tips dasar bagaimana agar pembawan MC bisa diterima banyak segmen di masyarakat.
Salah satu sentuhan yang diberikan adalah bahwa dalam memulai “siaran”, MC tak perlu mengucapkan Ummul Quran atau Surat Alfatihah. “Cukup dengan baca basmalah saat membuka acara,” saran ibu dari Sabrina, Farand, dan Azfar itu.
Menurut Dian, selain lebih simple, basmallah sudah cukup mewakili syiar Islam dan bisa diterima di berbagai acara, termasuk yang diselenggarakan lembaga umum.
“Jika kita terpatok pada bacaan Alfatihah, dikhawatirkan apabila acara tersebut diselenggarakan oleh institusi atau lembaga umum. Walaupun mayoritas pesertanya Muslim, cara MC seperti ini bisa dianggap merujuk pada organisasi tertentu dan tidak mau membaur dengan yang lain,” ungkap Dian.
Saran yang termasuk sensitif itu, kata Dian, bisa diterima peserta. “Alhamdulillah peserta menerima dan akhirnya menggunakan basmallah saja saat mengawali acara,” jelasnya.
Meski begitu, Dian tetap membolehkan peserta untuk menggunakan Ummul Kitab ketika menjadi MC pada kegiatan yang diselenggarakan kalangan Nahdliyin.
Dian senang karena para peserta sangat antusias. Meski niat awal Fatayat NU adalah memperbaiki kualitas ber-MC untuk acara-acara di NU di Kecamatan Trowulan, namun dengan pompaan semangat dari Dian, motivasi para peserta jadi melambung.
Rahmi, salah satu peserta, mengungkapkan perasaan senang dengan pelatihan ini. “Karena saya akhirnya mengetahui ternyata MC itu tidak asal bicara saja tapi banyat krintil-krintilnya (pernak-pernik, Red),” ujarnya.
Dian menyarankan, agar acara-acara di internal organisasi dijadikan sebagai penambah jam terbang untuk bisa berkiprah di acara-acara lain yang lebih besar.
Dian sendiri bangga bisa membagi ilmunya di kalangan warga Nahdliyin. Bahkan dia memasang foto profil di akun WhatsApp dengan foto diri yang diambil dengan latar belakang backdrop panggung acara.
Kepada PWMU.CO, Dian mengungkapkan bahwa apa yang dilakukan di depan Fatayat NU itu bagian dari dakwah. “Berdakwah kan tidak melulu berceramah, tapi memberi pelatihan MC juga bagian dari dakwah,” ujar anak dari Santoso dan Akhadah ini.
Tentu Mbak. Menjadi MC gratis di berbagai acara Muhammadiyah juga bagian dakwah. (MN)