
PWMU.CO – Puasa merupakan ibadah yang diperintahkan oleh Allah kepada para Nabi dan Rasul, yang pelaksanaannya ditujukan semata-mata untuk Allah Swt. Oleh karena itu, dalam menjalankan ibadah puasa, setidaknya terdapat tiga dimensi yang harus dipenuhi.
Demikian disampaikan oleh Nashrulloh dalam kajian Qiyamu Ramadan di Masjid An-Nur Muhammadiyah Sidoarjo, Selasa (4/3/2025). “Dimensi tersebut meliputi dimensi spiritual, dimensi sosial, dan dimensi rasional,” ujarnya.
Dimensi Spiritual
Puasa selama satu bulan di bulan Ramadan sejatinya bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ada tiga cara untuk mendekatkan diri kepada-Nya:
- Menjalankan semua perintah-Nya.
- Menjauhi segala yang dilarang-Nya.
- Mengamalkan hal-hal yang diperbolehkan oleh syariat.
Puasa sejatinya menjadikan kita lebih dekat dengan Allah karena Ramadan adalah bulan pelatihan untuk meningkatkan keimanan. Tujuan akhirnya adalah la‘allakum tattaqun—agar kita menjadi insan yang bertakwa.
“Maka wajar jika Allah memberikan banyak keistimewaan di bulan Ramadan, seperti dilipatgandakannya pahala, dibelenggunya setan, dan dibukanya pintu surga,” tegas Nashrulloh.
Dimensi Sosial
Dimensi sosial dalam puasa terlihat dari anjuran untuk berbagi dan mempererat hubungan dengan sesama. Rasulullah pernah ditanya oleh Anas mengenai puasa apa yang paling utama setelah Ramadan. Beliau menjawab, puasa Syawal, karena menjadi bentuk penghormatan terhadap Ramadan.
Anas kemudian bertanya lagi, “Sedekah apa yang terbaik?” Rasulullah menjawab, “Sedekah di bulan Ramadan.”
“Dapat dibayangkan, jika sedekah di luar Ramadan diibaratkan seperti menanam tujuh batang pohon, yang masing-masing berbuah seratus kali lipat, maka bagaimana dengan sedekah di bulan Ramadan? Pahalanya tentu jauh lebih besar,” jelas Nashrulloh.
Dimensi Rasional
Dimensi rasional dalam puasa sering kali terlupakan. Salah satu contohnya adalah bagaimana Rasulullah berbuka puasa hanya dengan tiga butir kurma dan segelas air. Itu sudah cukup.
Dari sisi medis, sistem pencernaan manusia bekerja selama delapan jam untuk mencerna makanan hingga menjadi feses. Setelah itu, lambung akan beristirahat. Jika istirahatnya lima jam per hari selama 30 hari, maka total istirahat lambung dalam sebulan adalah 150 jam—waktu yang sangat bermanfaat untuk menjaga kesehatan pencernaan selama 330 hari berikutnya.
Namun, realitasnya berbeda. Saat adzan Maghrib berkumandang, banyak orang langsung mengonsumsi berbagai makanan sekaligus—kolak, gorengan, sate, soto, dan sebagainya. Akibatnya, lambung mengalami shock dan dapat memicu berbagai gangguan kesehatan.
“Rasulullah sendiri makan besar setelah Isya, kemudian melanjutkannya dengan Qiyamu Ramadan,” pungkas Nashrulloh. (*)
Penulis Moh. Ernam Editor Wildan Nanda Rahmatullah