
Oleh Nasrawi – Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) KM UM Surabaya
PWMU.CO – Mahasiswa merupakan detak jantung perubahan. Dahulu, mahasiswalah yang menggulingkan tirani, yang menyulut api reformasi, dan yang menjaga demokrasi agar tetap bernapas. Namun kini, jantung itu telah melemah. Mahasiswa seolah mengalami aritmia kolektif. Pertanyaannya, “apakah kita baik-baik saja, atau sebenarnya kita sedang dalam kondisi kritis?”
Mahasiswa, yang pernah menjadi garda terdepan gerakan kritis melawan ketidak adilan penguasa, kini lebih sering jadi penonton. Lebih sering diam, padahal kebijakan yang mencederai masa depan terus lahir tanpa perlawanan.
Kenaikan UKT? Seperti hipertensi, makin tinggi dan yang menjadikan mahasiswa pusing tujuh keliling. Pemangkasan anggaran pendidikan? Kesehatan? Sama seperti malnutrisi, kampus dan masyarakat makin kurus, sementara ketidakadilan justru makin subur. Revisi UU TNI? Ibarat menyuruh dokter gigi menangani operasi jantung, tau nggak? Lucu, memang benar sama-sama tenaga ahli, tapi beda keahlian.
Ah, apa biar sekalian kampus jadi pangkalan militer kali ya.
Lalu, di mana suara kita (mahasiswa.red)?
Jika kita telisik sejarah dinamika mahasiswa di zaman dulu, mahasiswa bergerak bukan karena WiFi kampus lemot, tapi karena ketidakadilan. Sekarang, banyak yang lebih protes kalau harga kopi literan naik daripada kalau biaya pendidikan makin mahal. Sistem telah membentuk kita menjadi generasi yang lebih takut kehilangan daily streak di media sosial daripada kehilangan hak bersuara.
Sebagai mahasiswa, kita tentu tahu betul apa yang sedang terjadi. Mahasiswa kesehatan, kedokteran paham bahwa sistem pendidikan sedang sekarat. Mahasiswa ekonomi tahu betul bahwa ketimpangan makin lebar. Mahasiswa hukum melihat kenyataan tentang keadilan yang sering kali menjadi permainan. Mahasiswa teknik tentu sadar bahwa infrastruktur tanpa keadilan sosial hanyalah proyek ambisius. Semua disiplin ilmu memiliki perspektif yang sama, “ada yang tidak beres yang sedang terjadi di negeri ini!”
Tapi kenapa kita (mahasiswa.red) memilih diam? Why???
Apakah kita telah kehilangan idealisme? Atau sistem memang sengaja membuat kita sibuk dan lupa bahwa kita punya kekuatan? Kita dibanjiri tugas, tenggelam dalam ujian, dikejar deadline, dan akhirnya lebih memilih fokus menyelamatkan diri sendiri daripada memperjuangkan kepentingan bersama.
Jangan salah, kita bukan generasi yang bodoh. Kita hanya terlalu nyaman. Kita lebih panik saat kehilangan charger HP daripada kehilangan kebebasan berbicara. Kita lebih sibuk memburu diskon skincare daripada memperjuangkan hak pendidikan yang makin mahal. Kita lebih takut IPK turun daripada melihat demokrasi kita jatuh ke titik nadir.
Ingat..!!! Apatisme itu seperti penyakit menular. Jika satu generasi terinfeksi, generasi berikutnya akan tumbuh tanpa daya juang. Jangan sampai kita dikenang sebagai mahasiswa yang lebih peduli dengan menu makanan sehat di banding kesehatan bangsa yang makin rapuh.
Lihatlah kondisi kampus kita saat ini. Kampus bukan lagi ruang dialektika, tapi sekadar tempat mengantri untuk mendapat pembagian gelar kesarjanaan. Bahkan hal yang paling parah dan viral akhir-akhir ini, adalah adanya pejabat yang dengan gampang membeli gelar. Ironisnya, itu terjadi di kampus ternama. Dan setelah ketahuan permainannya, apa tindakan yang diberikan? Apakah sesuai? Apakah itu berkeadilan? Birokrasi akademik sering kali lebih menghambat daripada mendukung. Dan yang lebih menyedihkan, banyak mahasiswa lebih khawatir tentang tren fashion di banding kebijakan yang merugikan mereka sendiri.
Kita, mahasiswa kesehatan, tahu bahwa pasien dalam kondisi kritis butuh tindakan cepat. Begitupun dengan demokrasi. Jika demokrasi diterlantarkan terlalu lama tanpa perawatan, ia pun bisa mati. Kita butuh intervensi, kita butuh perlawanan, kita butuh mahasiswa yang berani berbicara!
Saatnya kita bangkit. Demokrasi sedang mengalami gagal napas, dan mahasiswa adalah satu-satunya ventilator yang bisa menyelamatkannya.
Jangan sampai kita hanya menjadi generasi yang pintar secara akademik tapi gagal dalam moralitas sosial. Jangan sampai kita hanya dikenal sebagai mahasiswa yang ahli mendiagnosis penyakit tetapi tidak bisa mendiagnosis masalah bangsa.
Hari ini kita dihadapkan pada pilihan besar, “tetap diam dan membiarkan semua ini terjadi, atau bangkit dan kembali mengambil peran sebagai motor perubahan”. Jika kita memilih diam, jangan kaget jika suatu hari kita hanya bisa berkata, “Duh, kok negara jadi begini ya?” Sambil meratapi masa depan yang kita biarkan hancur.
Ketidakadilan itu seperti tugas dosen killer, kalau nggak dihadapi, makin menumpuk dan bikin hidup sengsara. Setiap kebisuan kita adalah restu bagi penguasa yang mengabaikan suara rakyat.
Bangkitlah, sebelum apatisme kita diwariskan ke generasi selanjutnya. Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, ya besoknya juga nggak akan terjadi
Mahasiswa bukan sekadar penonton sejarah. Kita adalah denyut kehidupan bangsa. Dan sekarang, saatnya kita kembali berdenyut lebih kencang! (*)
Editor Notonegoro