
Oleh Alfi Saifullah – penulis kolom, buku biografi & sejarah.
PWMU.CO –Asy’ab bin Jubair menyusuri jalanan Kota Makkah. Tanpa sengaja ia melihat ada sekelompok orang sedang menyantap makanan di pinggir jalan. Tanpa ada aba-aba, Asy’ab langsung bergabung dengan sekelompok orang itu, meski tiada satupun di antara mereka yang mengenalnya.
“Assalamualaikum, ma’syar al li’am” (Assalamualaikum, hai sekelompok orang-orang yang pelit)”, sapa Asy’ab.
Setelah menjawab salam Asy’ab, salah satu di antara mereka nyeletuk, “Keparat! Lain kali jangan sebut kami orang pelit. Tetapi sebutlah kami orang-orang dermawan”.
Alih-alih perduli, Asy’ab masa bodoh dengan ucapan tersebut. Ia terus saja nimbrung dan ikut makan bersama mereka. Sembari tersenyum, mulut Asy’ab berseloroh: “Ya Allah jadikan mereka termasuk orang-orang yang jujur dan jadikan aku termasuk golongan orang dusta”.
Asy’ab pun masih tetap fokus makan dengan begitu rakusnya. Ketika akan mengambil lauk, ia bertanya kepada sekelompok orang tersebut sekadar basa-basi, “Apakah yang kalian makan ini?”.
“Racun!”, jawab salah satu dari mereka dengan ketus ―karena berharap Asy’ab tidak jadi memakannya.
Namun sebaliknya, Asy’ab malah cuek. Ia terus saja makan dengan rakus, memasukkan lauk sesuap demi sesuap ke mulutnya tanpa rasa malu.
“Usai bersama kalian, kehidupan akan kembali sulit”, ucap Asy’ab sambil mengunyah makanan.
Sekelompok orang itu pun bengong, dan dalam hati masing-masing bertanya, “bagaimana mungkin orang yang tidak di kenal tiba-tiba ikut nimbrung, lantas makan tanpa merasa malu, rakus pula”.
Salah satu di antara mereka berusaha menegur Asy’ab, namun gagal. Mencoba lagi, Asy’ab tidak bergeming sedikitpun. Setelah di rasa terlalu kenyang, Asy’ab baru berhenti makan.
“Hai dungu! Rupanya kamu belum kenal siapa kami, sehingga kamu berani bertindak kurang ajar terhadap kami”, kata salah satu di antara orang itu.
“Yang aku kenal cuma makanan-makanan ini, bukan lainnya. Semoga Allah menurunkan berkah di tengah-tengah kalian, dan menjadikan kalian sebagai andalan bagi orang yang sedang kelaparan seperti aku ini. Orang macam kalian ini akan mendapatkan pahala jika membiarkan perutku yang kosong ini menjadi kenyang”, jawab Asy’ab dengan percaya diri sembari berjalan meninggalkan mereka.
Siapakah Asy’ab bin Jubair?
Asy’ab bin Jubair adalah seorang benalu — julukan bagi orang yang suka menipu dan merugikan orang lain terutama terkait makanan. Ia kerap hadir di setiap acara hajatan, pesta, atau perjamuan hanya demi satu tujuan, makan. Hanya itu saja!
Asy’ab ikut makan bersama beberapa tamu meski ia tak masuk dalam daftar undangan. Asy’ab selalu punya seribu cara untuk bisa menerobos acara perjamuan, meski terdapat penjagaan yang cukup ketat. Dengan rakus, Asy’ab akan menyantap setiap makanan yang ada, seakan-akan tidak ada orang lain di sekitarnya.
Karenanya, masyarakat Arab menjadikan Asy’ab sebagai simbolisme dan perumpamaan bagi orang-orang yang rakus, tak tahu malu, tak kenal kenyang, dan mempunyai hobi makan.
Asy’ab bin Jubair lahir di Kota Madinah Al-Munawarah. Tanggal dan tahun kelahirannya tidak di ketahui. Ibunya bernama Ummi Humaidah, seorang budak perempuan milik Sayyidah Asma’ binti Abu Bakar ra. Dalam riwayat lain, Ummi Humaidah adalah budak milik Abu Sufyan bin Harb dari Kabilah Bani Umayyah. Sejak kecil Asy’ab diasuh oleh Aisyah binti Utsman bin Affan ra. Dalam perjalanan hidupnya, Asy’ab pernah menjadi budak dari sahabat Abdullah bin Zubair bin Awam ra yang kemudian dibebaskan.
Asy’ab biasa dipanggil dengan Abul Ala’ atau Ibnu Ummi Humaidah. Meski rakus, Asy’ab memiliki suara yang terbilang merdu. Karena itu, Asy’ab hobi sekali bernyanyi untuk mendukung profesinya sebagai benalu. Lebih dari itu, Asy’ab dikaruniai Allah usia yang relatif panjang. Diketahui Asy’ab wafat di Madinah pada tahun 154 H/771 M setelah kepulangannya dari Baghdad.
Asy’ab vis-a-vis puasa
Secara fisik, Asy’ab telah meninggal dunia 1253 tahun yang lalu. Namun tidak dengan nilai dan karakternya. Sifat semacam ini akan tetap eksis selama makhluk bernama manusia masih hidup di permukaan bumi. Untuk mengendalikan sifat-sifat semacam itu, Allah memerintahkan hambanya berpuasa, terutama di bulan Ramadhan. Dengan berpuasa, minimal manusia dapat meredam gejolak nafsu keserakahannya, terutama terkait makanan, budaya konsumtif, dan sejenisnya. Lebih dari itu, akan mendapat predikat sebagai hambaNya yang bertaqwa, seperti termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 183.
Namun lain dalam tataran ide, lain pula dengan fakta dan realita. Ketika bulan Ramadhan tiba, gaya hidup konsumtif terhadap makanan justru semakin menjadi-jadi, menemukan momentumnya. Menjadi high season bagi sebagian besar orang.
Alih-alih puasa dapat melemahkan nafsu serakah, justru menjadi pintu masuk krakter Asy’ab dalam bentuk dan wajah lain. Terutama sekali saat menjelang berbuka puasa. Acapkali kita temukan ketika sebuah acara “buka bersama” atau “bukber” oleh instansi atau kelompok tertentu. Asy’ab- Asy’ab baru segera bermunculan. Segala jenis dan varian makanan, segera masuk ke dalam mulutnya masing-masing.
Dari sini nilai dan esensi puasa di reduksi dengan berbuka yang lebih mewah, lebih lezat, lebih banyak. Seakan-akan menahan lapar dan dahaga sampai menjelang maghrib, merupakan harga yang harus di bayar demi mengkonsumsi berbagai macam hidangan. Maka benar apa yang banyak para da’i dan khatib menyampaikan dari mimbar ke mimbar dengan menyitir potongan hadits, “Betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapat apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga”.
Dalam konteks fiqih, tidak ada larangan berbuka selezat, semewah dan sebanyak apapun. Syaratnya hanya satu; “halal”. Dalam Ihya’ Ulumiddin, Imam Ghazali menjelaskan bahwa tidak berlebihan dalam berbuka merupakan salah satu bentuk kesempurnaan berpuasa.
Dengan lugas beliau berkata, “Tidak memperbanyak makanan yang halal pada waktu berbuka puasa dengan memenuhi perutnya. Karena tidak ada satu tempat yang lebih di benci Allah daripada perut yang penuh dengan barang yang halal”. Lebih lanjut, menurut Imam Ghazali, dengan secukupnya konsumsi ketika berbuka, hati akan bertransformasi menjadi jernih. Dengan hati yang lebih jernih semakin membuka dan memperbesar peluang manusia dalam meraih malam teragung, malam lailatul qadar. Wallahu a’lamu bish shawab. Editor Notonegoro