
PWMU.CO – Langit senja di Muhammadiyah Boarding School (MBS) Porong, Sidoarjo mulai meredup, menandakan waktu berbuka puasa semakin dekat. Aroma kurma dan teh hangat menyebar di udara, namun tak ada riuh suara santri yang biasanya memenuhi ruang makan. Tidak ada candaan atau obrolan gaduh. Hanya keheningan yang menyelimuti detik-detik pertama berbuka. Inilah Silent Iftar, sebuah tradisi baru yang kini menjadi bagian dari keseharian santri MBS Porong selama Ramadan.
Sejak kedatangan santri ke pesantren pada 5 Maret 2025 setelah libur awal puasa, mereka membiasakan diri dengan konsep berbuka puasa dalam keheningan selama lima menit pertama. Tidak ada suara, tidak ada perbincangan, hanya kesunyian yang mengajak setiap santri untuk menikmati makanan dengan penuh kesadaran.
Bukan sekadar membiasakan diri menahan obrolan, tetapi lebih dari itu, mereka diajak untuk benar-benar meresapi makna puasa, mensyukuri rezeki yang terhidang di hadapan mereka, serta memanfaatkan waktu berbuka untuk doa-doa terbaik.
Menurut Rozaq Akbar, Kepala Pengasuhan Santri MBS Porong, Silent Iftar adalah bentuk latihan mindfulness dalam Islam. “Konsep ini mengajarkan santri untuk fokus pada doa, refleksi, dan menikmati momen berbuka dengan penuh kesadaran. Rasulullah Saw bersabda, ‘Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa, pada saat berbuka terdapat doa yang tidak akan ditolak’ (HR. Ibnu Majah). Waktu berbuka bukan hanya soal melepas dahaga, tetapi juga saat terbaik untuk berdoa dan mengingat Allah,” ujarnya.

Awalnya, beberapa santri merasa canggung dengan kebiasaan ini. Mereka terbiasa berbuka dengan obrolan ringan dan senda gurau bersama teman-teman. “Rasanya aneh, biasanya kami langsung bercanda atau cerita tentang kegiatan seharian,” ungkap salah satu santri.
“Tapi setelah beberapa hari, saya menyadari kalau berbuka dengan tenang itu jauh lebih nikmat. Saya jadi lebih sadar dengan setiap suapan makanan dan bisa berdoa dengan lebih khusyuk,” ucapnya.
Setelah lima menit keheningan berlalu, suasana kembali mencair. Para santri berbincang, berbagi pengalaman puasa hari itu, dan mendiskusikan hal-hal yang mereka renungkan selama Silent Iftar. Kebiasaan ini bukan hanya tentang menahan bicara, tetapi juga membentuk karakter santri untuk lebih menghargai momen-momen kecil yang penuh keberkahan.
Tradisi Silent Iftar di MBS Porong bukan sekadar budaya berbuka, tetapi sebuah pembelajaran berharga tentang kesabaran, kesadaran, dan syukur. Dalam keheningan, para santri belajar bahwa kebahagiaan sejati bukan terletak pada kebisingan, tetapi pada ketenangan hati yang mampu merasakan setiap berkah dari Allah SWT. Keheningan itu, ternyata, justru penuh makna.
Penulis Rozak Akbar Editor Zahra Putri Pratiwig