
PWMU.CO – Munir Ahmad demikian biasa disapa warga sekitar, dia merupakan pelaku sejarah berdirinya Muhammadiyah 7 Februari 1965 di Sendangagung Paciran Lamongan Jawa Timur. Guru MIM 13 dan SMPM 12 Sendangagung (1965-2019) yang lahir tahun1938 ini bercerita tentang salat Idul Fitri pertama di Lapangan Kopen, dan reaksi pergolakan masyarakat Sendangagung di awal berdirinya Muhammadiyah.
Baginya ini merupakan tonggak sejarah penting dan ini perlu diketahui generasi sekarang. Karena baginya perubahan tradisi ibadah warga Sendangagung yang dimotori Muhammadiyah tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dengan tutur Bahasa lembut, inilah cerita yang disampaikan pria berusia 87 tahun dalam wawancara ekslusif bersama kontributor PWMU.CO di kediamannya, Barat Mushala Al-Abrar Lebak Barat Sendangagung, Jumat (28/03/2025).
Setelah berdirinya Muhammadiyah, maka disusunlah program kerja organisasi, salah satunya salat Id di lapangan. Hal itu dengan dasar kitab Bulughul Maram dan juga mengikuti instruksi Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 1965 yang saat itu Ketua PP KH Badawi dari Yogyakarta.
Ayah satu anak (M Misbahul Muttaqin) ini pun mengawali ceritanya seputar sejarah awal penyusunan program kerja PRM Sendangagung yang saat itu Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) masih ikut Blimbing, karena Paciran belum jadi PCM. Suami Munikah ini lantas melanjutkan ceritanya tentang program kerja lainya yang dirumuskan PRM Sendangagung, antara lain salat Tarawih dan witir 11 rekaat, Pengajian Rutin perminggu, setiap malam Sabtu ba’da isya, pengumpulan uang santunan sosial, dan pengumpulan zakat fitrah.
“Pernah suatu saat mengadakan Pengajian Rutin di barat rumah Idris Suto yang menghadirkan KH Abdurrahman (Nyiman) dan hadir pula Anwar Sekretaris KUA Paciran saat itu. Tiba-tiba di tengah acara arena pengajian dilempari batu, sontak peserta pengajian kaget dan marah, tetapi Pak Anwar berhasil menenangkan massa.
“Harap sabar, beginilah tantangan dalam dakwah pasti ada rintangannya,” kutipnya menirukan Anwar.
Saat itupun muncul cemoohan.
“Perihal salat yang lebih sedikit dibanding jumlah rokaat sebelumnya 23. Salat kok dikorting (dipangkas) sak enake dewe (semaunya sendiri),” kutipnya.
Kisah Perjuangan Salat Id Pertama

Salat Id pertama dilaksanakan pada tahun kedua (1966) atau setahun setelah Muhammadiyah berdiri. Lokasinya disepakati di lapangan Kopen, lapangan sepakbola yang saat ini berlokasi di Barat Daya Pondok Pesantren Al-Ishlah dan ini adalah milik Pemerintah Desa (Pemdes) Sendangagung.
Sebelumnya, kegiatan salat Id (idul Fitri dan Adha) biasa dilakukan di Beji, tapi kali ini ada perubahan dan menimbulkan ketegangan warga antara pro dan kontra dengan perubahan ini.
Kepala Desa Sendangagung saat itu, Toha (Petinggi Kemat) sampai turun tangan berusaha mencari solusi persoalan ini, tetapi mengalami jalan buntu. Maka diundang dua pihak yang pro dan kontra, Maksum Ahmad dan Affandi Ilyas mewakili PRM yang akan mengadakan salat di lapangan. Atas usulan Affandi Ilyas hasil rapat disepakati, tempat salat Id diserahkan warga, boleh milih di masjid dan mushala atau ikut PRM di lapangan.
Maka malam hari raya idul Fitri pun tiba, tetapi ketegangan masih kentara jelas di dua kubu ini. Saat diadakan takbiran keliling oleh warga Muhammadiyah, arak-arakan dipimpin oleh Ma’shum dibantu Warkim, Kasbun, Sa’dullah, Sumadi dan kawula muda Muhammadiyah lainnya.
“Ini adalah takbiran keliling pertama kali dalam sejarah warga Muhammadiyah Sendangagung, dan bahkan sebelumnya tidak terjadi di Sendangagung adanya takbiran keliling,” ungkapnya.
Pengumuman Sholat Id
Sambil kumandangkan takbiran keliling, diiringi nyala lampu petromax dan beberapa obor bambu, Ma’shum Ahmad juga memberi pengumuman lewat TOA yang dipikul Semawi dan Maulan bahwa salat Id besok diadakan di Kopen.
“Kaum muslimin besok salat idul di Kopen, mangga hadir,” serunya.
Sementara itu, warga Muhammadiyah lain bergerak mensosialisasikan salat Id di Kopen di tempat jandoman pos mangkal para bapak, di Suto; Munir Ahmad dan Dirjam Mustaji, di Lebak; Kasiyan dan Uripan (ayah Ujud Saipul), di Mejero; Mandrim, Kandrim, dan Pardi (ayah Suharsono), di kawasan pasar; Sufyan dan Jamil.
Usai takbiran, Semawi, Soham Rukiyat, Ismail (Adik Abu Khoir) bagian akomodasi menata panggung dan mimbar di Kopen, mereka penuh semangat membuat shaf salat dan mempersiapkan accu, TOA, dan tikar seadanya. Sebagai imam dan khatib salat Id penuh sejarah itu adalah H Sun’an Karwalip, anak pasangan Kartiun dan Walijah asli Paciran, maka disingkat Karwalip, dan bagian penjemput Zain Abdul Majid dengan mengendarai sepeda motor milik Kurnan.
Warga Sendangagung yang setuju salat di lapangan, mereka berduyun-duyun hadir. Kurang lebih ada 200 jamaah dengan cara berkumpul dulu di Masjid An-Nur dan bergerak berarak sambil kumandangkan takbir tahlil dan tahmid melewati pemandian, jalan raya sutho, ke Barat menuju Kopen.
Rintangan pun bermunculan, ada yang medani (meledek).
“Tempat keleran (merumputnya sapi dan kambing) kok dipakai salat, itu najis dan gak sah salatnya,” ujarnya.
Dikisahkan pula, Bahkan ada yang dengan sengaja mengotori tempat salat itu dengan kotoran manusia (diberaki dan dikemcingi). Di tempat berbeda, Maksum Ahmad yang dimintai konfirmasi membenarkan keterangan kakak kandungnya itu.
“Cerita ini tidak mengungkit-ungkit masa lalu, tetapi ini salah satu cara ikhtiar mencari hikmah pentingnya persatuan umat Islam dan mahalnya perjuangan. Namun ini semua sudah berlalu, ini kejadian 60 tahun yang lalu, dan kini toleransi warga Sendangagung makin tinggi. Tidak ada lagi gesekan yang menjurus perusakan persatuan umat Islam di Sendangagung. Semua rukun dan semoga ini semua tetap terjaga,” imbuh Ma’shum Ahmad yang tinggal di Jalan Jublang Nduku Suto ini. (*)
Penulis Gondo Waloyo Editor Amanat Solikah