PWMU.CO – Pada seri kedua catatan perjalanan mengikuti The Master Level Course on Sharia and Human Rights di UMM Inn, kontributor PWMU.CO Ria Eka Lestari melakukan wawancara dengan Wiwin, remaja difabel yang “terpinggirkan” di Stasiun Wonokromo.
Saking asyiknya, dia tak sadar kereta api yang akan ditumpanginya segera berangkat. Apa yang terjadi? Tertinggalkah dia? Selamat menikmati catatan ketiga dari empat seri tulisan yang dibuat. Redaksi.
***
Suara klakson angin (air horn) berbunyi sudah. Tanda kereta api telah datang. Suara dari pusat informasi pun menguatkan. “Kereta api Penataran tujuan Malang telah tiba di jalur dua. Para penumpang diharap segera naik dan memastikan tidak ada barang bawaan yang tertinggal,” begitu isi informasi yang kudengar.
Dengar? Iya, dengar. Tapi entah kaki ini enggan melangkah. Masih ingin kuhabiskan beberapa menit lagi, bersamanya, Wiwin, difabel yang kutuliskan kisahnya dalam catatan perjalanan kedua. (Baca: Remaja Tunanetra Itu seperti Petunjuk Allah yang ‘Diwahyukan’ di Stasiun Wonokromo)
“Ah, kereta kan baru singgah. Mungkin masih lama akan berangkat lagi,” pikirku dalam hati.
“Ting ting ting tiiing. Kereta api Penataran tujuan Malang sesaat lagi akan meninggalkan stasiun Wonokromo Surabaya,” suara wanita dari pusat informasi mengagetkanku.
Sesegera mungkin aku berpamitan pada Wiwin. Kuraih tas ransel merah jambu di sampingku sambil setengah berlari.
“Mbak, Mbak, tiketnya mana?” tanya sekuriti di depan pagar jalur kereta. Aku bingung. Sambil melihat keretaku yang akan berangkat, kujawab pertanyaannya bahwa tiketku dibawa teman yang mungkin sudah naik.
“Kami terpisah, Pak. Tapi saya benar-benar sudah beli tiket kok,” kataku meyakinkan. Namun rupanya kalimatku tak berhasil. Ia masih saja terus menanyakan bukti fisiknya. Sementara klakson angin sudah berbunyi tiga kali. Wajahku mulai pucat.
“Ayolah Pak. Izinkan saya masuk ya. Daripada saya ketinggalan kereta. Mungkin teman saya sudah di dalam,” rayuku pada pria yang lebih tinggi dariku itu. Tak ada nama di seragamnya. Tapi sepertinya usianya di atasku dua tahun.
“Kok pede temannya ada di dalam? Iya kalo ada, lha kalo nggak ada nanti Mbak yang nggak bisa turun lho,” tutur petugas keamanan tersebut.
Benar juga ya. Kok pede sekali diriku ini. He he … Jadi ingin ketawa sebentar. Sekali lagi cuma sebentar, pembaca. Karena setelah itu aku harus bingung lagi.
Kuambil mobile phoneku dari dalam tas. Kucoba telepon Rohman, teman yang membawa tiketku. Kami sama sama peserta The Master Level Course on Sharia and Human Rights di UMM Inn yang harus presentasi penelitian esoknya (31/10/17).
Baca Seri 1 Perjalanannya: Kenal Shalat karena ‘Hikmah’ Mbolosan)
“Woi! Ayo segera naik,” teriak salah satu pegawai perkeretaapian di ujung kepala gerbong. Seragamnya berbeda dengan pria di sampingku. Rupanya dia adalah teknisi kereta. Para teknisi kereta beraksi sebelum kereta diberangkatkan. Semua bagian yang berfungsi menjalankan kereta diperiksa, mulai dari suhu ban, kepakeman rem, genset, hingga berfungsi atau tidaknya seluruh rangkaian kelistrikan di dalam kereta. Tidak satu pun baut kereta yang boleh luput dari pandangan mereka.
“Kurang dua … Kurang dua,” jawab sekuriti di sampingku dengan teriakan pula. Klakson angin berbunyi lagi. Bunyi kedua adalah peringatan akhir yang menandakan sudah tak ada lagi kesempatan menunggu. Allah …. apa yang harus kulakukan. Tanganku mulai dingin. Masih kucoba telepon Rohman tapi tetap tak terjawab. Calon penumpang kereta lain yang ada di ruang tunggu melihat ke arahku. Ikut bingung mungkin ya, tapi mereka pun tak mampu berbuat apa-apa.
“Mbak,” suara sesosok pria dari belakang membuatku tersenyum. Yap, Rohman temanku. “Maaf tadi aku di toilet,” jawabnya seraya berlari di sampingku. Sesampainya di jalur 2, kami pun naik tanpa melihat gerbong berapa.|
Baca juga: Nyaris Tersesat di Lorong Bawah Tanah Ciptaan J Van der Eb
“Priiiiittttt …,” tiupan panjang peluit menghentikan semua kisah ini. Kulihat Petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA) sangat sibuk di ruang kendali khusus di pinggir rel. Mereka sibuk mencatat, menerima telepon, menarik tuas, kemudian keluar masuk ruangan. Mereka bertugas mengatur perjalanan kereta api yang berada dalam wilayah kerja mereka. Semua rencana perjalanan harus melalui koordinasi mereka.
“Semangat bekerja ya, Pak!” sapaku dari dalam kereta sambil bersandar di salah satu kursi penumpang dan menghela nafas panjang.
Tiga hal yang kujadikan pembelajaran hidup saat itu. Pertama, pahami bahwa kereta adalah transportasi yang sesuai jdwal, jadi kereta tak kan mau menunggu kita semenit dua menit pun.
Kedua, jangan terlalu asyik ngobrol dengan teman atau penumpang lain bahkan hanya sekedar menikmati suasana stasiun.
Ketiga, tetap fokus memperhatikan siaran informasi lewat pengeras suara.
Selamat menikmati perjalanan! (*)