PWMU.CO – “Kriiinnnggg ….” Nomor telepon seluler tak kukenal menerobos layar HP-ku yang saat itu sedang kupakai mengedit berita.
Biasanya tak mudah aku mengangkat nomer asing yang meneleponku. Tapi kali ini tidak. Kuangkat HP itu dari keyboard merek Logitech yang sedang kupakai untuk mengedit tulisan.
“Halo….Bapak orangtua Xxxx yang kuliah di Uxxxx ya? Anak Bapak jatuh. Ada pendarahan di kepala. Tolong hubungi Bu Xxxxxx, di nomer xxxxxxxxxxxx. Beliau sedang mengantar Xxxx ke rumah sakit,” suara pria dari telepon tak kukenal itu langsung membuat jantungku nyaris copot.
Ingatanku menyasar peristiwa pagi tadi, saat kuantar putriku di depan rumah untuk berangkat kuliah dengan sepeda metik putihnya. Masih segar dalam ingatanku, saat itu kukatakan bahwa kaos kakinya kurang tinggi.
Sebenarnya dia tinggal di rumah sahabat senior di Surabaya. Tapi semalam ia pulang karena ada berkas penting yang harus diambil.
“Ya, Allah. Innalillahi wainnailaihi rajiun. Anakku kecelakaan,” kataku lirih.
Aku bergegas. Segera kutinggalkan kantor dengan mengajak kepala produksi Bang Udin menamaniku menuju rumah sakit.
Dengan cekatan jari-jariku menombol tut-tut HP, menghubungi nomor yang diberi pria yang mengaku dosen tadi.
Kuperhatikan seisi kantor tampak sedih. Bahkan ada yang sudah menangis.
“Halo. Saya Fatoni orangtua Xxxx,” aku mengenalkan diri secepat kilat. Kudengar isak tangis perempuan, menyambut hubungan teleponku.
“Anak Bapak kecelakaan,” katanya terbata diiringi tangis pilu. Aku semakin gemetar. Terbayang wajah anak keempatku itu dalam mata cintaku. “Allah telah mengujiku,” gumamku dalam hati.
“Ada pendarahan banyak dari kepala Xxxx,” ibu yang mengaku dosen Xxxxx itu menyebut kejadian yang menimpa anakku.
“Bapak posisi di mana?” tanyanya.
“Di Waru,” jawabku cepat.
“Ini harus diambil tindakan cepat. Xxxx harus segera dioperasi,” jelasnya sambil menyerahkan sambungan kepada seorang dokter lelaki.
“Saya dokter bedah yang sedang menangani anak Bapak. Ini saya harus ambil tindakan cepat. Bapak masih lama sampai ke sini (RSUD)?” kata dia.
“Saya menuju rumah sakit,” kataku. “Tapi ini harus diambil tindakan cepat. Saya harus operasi anak Bapak karena dari hasil CT scan ada pendarahan di otak anak Bapak. Kemungkian gegar otak,” jelasnya.
“Apa yang harus saya lakukan,” tanyaku ingin segera mendapat kepastian tindakan akurat untuk keselamatan putri kesayanganku.
“Untuk operasi ini harus ada alat yang harus dibeli di apotek. Karena alat yang ada tidak sesuai ukuran dengan anak Bapak,” terang pria yang mengaku dokter itu.
“Alhamdulillah,” gumanku lega dalam hati. Sambungan langsung kututup. Ini modus penipuan.
Grogi Lagi HP Tak Diangkat
Langsung kuhubungi HP putriku untuk memastikan bahwa kabar kecelakaannya itu hanya tipuan belaka.
“Kring….. kring……” dua kali aku telepon tapi tak diangkat. Hatiku kembali grogi. “Kok, HP-nya gak diangkat?” gumamku.
Sebelumnya, aku juga menghubungi istriku. Barangkali dia mendapat telepon serupa.
“Nggak ada kok Yah,” ujarnya sambil mengutarakan niat untuk juga menghubungi Xxxx, putriku.
Tapi aku sudah terlanjur meluncur dengan mobil Velos putihku menuju kampusnya. Aku ingin memastikan bahwa dia baik-baik saja.
Dalam perjalanan, tiba-tiba ada miscall dari HP anakku. Kutelepon balik dia.
“Assalamualaikum,” sapaku dengan suara keras tanda kebahagiaan yang luar biasa.
“Waalaikumsalam,” jawabnya yang membuat hatiku adem seperti disiram salju.
“Adik di mana? Baik-baik saja, Nduk?” tanyaku tak sabar.
“Ya ini habis kuliah,” ujarnya. Aku pun menceritakan kejadian yang baru saja membuatku hampir pingsan.
“Alhamdulillah, kalau baik-baik saja. Hati-hati ya Nduk!” pesanku.
“Ayah juga hati-hati!” pesannya.
Lega mendapat sambungan dan tahu kondisi dia baik-baik saja, aku segera putar haluan. Mengurungkan niat ke kampusnya dan kembali ke kantor.
Tapi dari peristiwa itu, aku seolah diingatkan untuk lebih dekat lagi pada anak-anak dan istriku. Pagi tadi aku tidak memeluknya, seperti sering kulakukan padanya.
Tiga Kali Dapat Modus
Pembaca, tiga kali aku mendapat modus penipuan semacam ini. Tapi kali ini benar-benar masuk akal. Putriku itu belum setahun lancar mengendarai motor. Enam tahun hidup di pondok membuatnya jarang bersepeda motor.
Pernah jam 02.00 dini hari aku ditelepon lewat telepon rumah. Seorang yang mengabarkan bahwa anak keduaku ditahan polisi karena kasus narkoba. Diperdengarkan nada tangis seorang anak lelaki.
Tapi itu tak mengagetkanku. Tak masuk akal. Sebab anakku saat itu sedang sekolah berasrama di Serpong. Jadi itu modus spekulatif yang tak masuk akal.
Tapi pernah juga aku hampir tertipu. Waktu itu seorang yang mengaku dari Dinas Pendidikan Jatim mengabari bahwa anakku, yang kedua juga, dapat beasiswa karena pernah menjadi juara olimpiade matematika di Kabupaten Bojonegoro. Yang ini masuk akal. Dia tahu nama anakku. Tahu pula prestasinya di SMP. Aku hampir saja mentransfer uang, untuk proses pencarian beasiswa itu.
Tapi akal sehatku segera tersadarkan, karena ada sesuatu yang tak masuk di akal.
Nah, peristiwa pagi tadi, nyaris sempurna skenarionya. Tapi ketika aku disuruh membeli alat di apotek, aku baru sadar kalau itu modus.
Pembaca, pelajaran hari ini, tetap sadar sepenuh diri jika menerima kabar-kabar seperti itu. Jangan panik yang kebablasan sampai pingsan atau bahkan tertipu.
Ya, Allah lindungilah anak-anakku, dari segala marabahaya, juga dari tipuan orang-orang yang berniat jahat!
Pengorbanan seorang ayah itu tak ada alasan apa dan mengapa. Yang ia tahu hanya demi kita. (*)
Waru, Sidoarjo, 21 November 2017 pukul 11.00 WIB
Mohammad Nurfatoni, ayah dari 5 anak tercinta.