PWMU.CO – Paper berjudul: Konversi Ideologi Muhammadiyah ke Front Pembela Islam (FPI), karya Sholihul Huda MFilI, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), terpilih masuk Annual Confrence on Islamic Studies (AICIS) ke-17 yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia di Jakarta.
Artikel tentang Islamic Studies karya Sholik—panggilam akrabnya— masuk di antara 800 paper yang dipresentasikan dalam AICIS ke-17.
“Saya menjadi satu-satunya dosen dari Universitas Muhammadiyah yang terpilih di antara ratusan dosen UIN/IAIN/STAIN se-Indonesia. Alhamdulillah,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (23/11/17) pagi.
Dalam papernya itu dia mengulas tentang adanya pergeseran ideologi di internal Muhammadiyah, terutama di Pantura Lamongan.
Mereka—kader atau anak Muhammadiyah— yang awalnya berpaham Muhammadiyah (moderat), tapi karena beberapa sebab akhirnya memilih bergabung ke FPI, yang cenderung berpaham radikal.
“Proses pergeseran ideologi ini berjalan tidak tampak, namun terasa perubahannya,” terangnya.
Menurut Sholik, proses ini berdampak pada pengerasan ideologi yang cenderung radikal. Selain itu, berdampak pada pelemahan komitmen ber-Muhammadiyah. “Ideologi Muhammadiyah adalah moderat. Bukan radikal,” tegasnya.
Konferensi internasional yang diadakan oleh Kemenag RI pada pada 20-23 November 2017 itu dihadiri lebih dari 800 cendekiawan Muslim dari Indonesia dan dari mancanegara, seperti Australia, Jepang, Amerika Serikat, Kanada, Taiwan, India, Thailand, Arab Saudi, Inggris dan lainnya.
Pertemuan yang mengambil tema Religion, Identity, Citizenship, Horisons of Islam In Indonesia and Beyond itu mengkaji isu-isu keislaman kontemporer.
Yakni mengkaji dan mempromosikan bagaimana identitas agama, identitas kewarganegaraan (politik), dan identitas budaya.
“Semua hal itu sering kali dipertentangkan oleh sebagian kelompok masyarakat sehingga berdampak terhadap potensi terjadinya konflik,” ungkap Sholik.
Bahkan, kata dia, masih ada sebagian kelompok yang mencoba mempertentangkan antara identitas Islam dengan Pancasila dan NKRI (identitas politik). Terlebih menganggap bahwa Pancasila adalah thoguth dan NKRI adalah negara kafir.
Selain itu, ada kecenderungan mempertentangkan identitas Islam dengan identitas budaya yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam.
“Pada konferensi ini, ingin dikaji untuk mendapatkan pola atau formula bagaimana memposiskan relasi antara identity, religion and citizinship. Di mana hak kewarganegaraan, identitas keagamaan, dan budaya harus di sinergikan pada pisosinya. Bukan sebaliknya harus dipertentangkan. Inilah tugas cendikiawan Muslim Indonesia,” tegasnya.
Tak hanya itu, lanjutnya, yang menjadi perbincangan hangat adalah terkait era disruption, sebuah era yang dipicu oleh akselerasi teknologi informasi sehingga merubah pola dan interaksi sosial keagaman masyarakat yang serba cepat diam dan menembus ruang regional.
“Yang menjadi perhatian adalah bagaimana beragama dan posisi pendidikan Islam menghadapi era peradaban go-jek (era disruption),” katanya. (aan)