PWMU.CO – Raut wajah itu tak asing bagiku. Tak sama, namun juga tak banyak berbeda. Beberapa dari mereka terlihat sibuk dengan kertasnya. Ada juga yang sedang sibuk menata taman sekolah. Sebagian yang lain terlihat serius membicarakan sesuatu. Entah, apa? Sungguh, aku ingin mengabadikan kisah ini dalam rekaman lensa.
Bersama 7 teman seangkatan, kami berdelapan menyiapkan hadiah sederhana. Hanya bunga dan kue hias. Tapi kami menyiapkannya dengan cinta. Bukankah cinta memang sering membuat hal sederhana terasa istimewa.
“Assalamu’alaikum,” sapa kami berdelapan memasuki ruang pojok di lantai 2. Guru-guru di sana tampak kaget melihat kedatangan kami. Mereka terlihat seperti berpikir keras, siapa ini ya?
“Sek sek.. lho ini kan si kembar, siapa ya namanya. Ria…. hmm.. sama siapa ya?” bisik Bu Umi Fadlilah dengan ekspresi kaget. “Vita, Bu,” jawabku sembari mencium tangan Bu Fad, begitu kami memanggil beliau.
“Lho….. ya Allah…. iki lak alumni. Tapi angkatan piro yo?” gumam Bu Cholifah yang tampak berpikir keras mengingat tahun lulus kami.
Bambang, salah satu alumni berjalan setengah berlari menuju Pak Heri Wahyudi. Lelaki yang dituju sedang asyik dengan lembar-lembar koreksiannya. “Selamat Hari Guru, Pak Heri,” sapa Bambang sembari menyodorkan bunga.
Akbar, alumni yang bertubuh paling besar di antara kami berdelapan, memberikan rainbow cake hias kepada Pak Asmunardi, guru IPA kami yang sekarang menjadi kepala sekolah.
“Selamat Hari Guru Pak Nardi,” ucap Akbar sambil memberikan kue hias tersebut.
Acara ini memang kami buat surprise. Maklum, alumni angkatan 1997 ini jarang bisa ketemu karena kesibukan masing-masing. Pak Billah, guru baru di sekolah ini yang turut membantu menyesuaikan waktu kami dengan sekolah. Akhirnya, Jumat (24/11/17) kami bisa memberikan kejutan bagi guru-guru kami di SD Muhammadiyah 1 Gresik.
“Ayo salim Nak,” pinta Yessie, salah satu alumni kepada putrinya yang masih berseragam TK. Khalisha pun segera mencium tangan guru-guru kami, bergantian.
“Waduuhh, sudah punya cucu ini kita,” sambut Pak Heri sambil mengelus kepala Khalisha.
Ninis dan Farok ikut bercerita tentang keunikan masing-masing guru. Pak Heri yang selalu meminta menulis nama lengkap dengan aksara Jawa. Pak Sahid yang mengajari meniup seruling hingga seisi kelas menutup telinga.
Bu Yetty yang mengajarkan bagaimana melatih lidah saat mengucap kalimat dalam bahasa Inggris. Bu Ifa yang selalu melatih menulis tegak bersambung. Dan Pak Nardi yang mengajarkan tips menghafal cepat sistem pencernaan makanan.
Usai bersalaman dan berbagi bunga, beberapa guru mulai menanyakan beberapa hal terkait kabar kami dan teman alumni lainnya.
Kami pun menjelaskan pertanyaan Bapak-Ibu guru itu. Lalu Alimin menanyakan sesuatu.
“Sepertinya ada yang kurang ya?”
“Iya, tidak ada Pak Antok, Pak Jainuri, Bu Masvin, dan Pak Usman,” jawab Ria dengan nada sedih.
Suasana ceria menjadi haru seketika. Beberapa guru turut menitikkan air mata. Mereka yang telah tiada akan tetap ada dalam doa kami.
Selamat Hari Guru Nasional. Untukmu, yang tak pernah lelah menjadi lentera. (Ria Pusvita Sari)