PWMU.CO – Di antara peserta Umrah PT Relasi Laksana Wisata (Relaks), adalah Deni Asy’ari. Pimpinan Perusahaan majalah Suara Muhammadiyah ini mengundang perhatian jamaah lain karena ketika berada di Jabal Rahmah dan Ma’la, memakai kaos hitam bertuliskan “Doa Mandeh”, yang berarti doa ibu.
Dalam pengakuan pria asal Bukittinggi Sumatera Barat ini, kaos tersebut dipakai sebagai wujud dari doa ibunya, Naimas Dahlan, yang disampaikan via telpon sehari sebelum wafat di Masjid Alharam. “Deni, kami doakan kalian semua bisa ke tanah suci, dan suatu saat kita bisa bertemu di sini (Arafah).”
Esok hari setelah pesan tersebut, terdengar kabar ibunya meninggal di Masjid Alharam saat menunaikan ibadah Magrib, sehari jelang kembali ke Tanah Air.
Dimakamkan di Ma’la, Makkah. Maka, dalam momen ziarah ke Jabal Rahmah, dia menggunakan kaos bertuliskan “Doa Mandeh”, sebagai bukti rindu atas doa yang disampaikan di bukit ini.
Masih segar dalam ingatan Deni, pada 2012 ibunya sering menyampaikan keinginan untuk umrah. Namun belum kesampaian, karena memang ibadah umrah adalah “barang mahal” baginya.
Pada 2013, keinginan tersebut kembali disampaikan dengan alasan mendalam. “Deni…, rasanya Ibu belum ikhlas, jika suatu saat Allah memanggil Ibu, namun belum pernah menginjakkan kaki di Tanah Suci,” Deni menirukan pesan ibunya.
Kalimat singkat itu, meyakinkan Deni untuk bisa mendapatkan rezeki Allah agar ibunya bisa berangkat umrah tahun 2013. “Alhamdulillah, setelah sekitar 2 tahun mengumpulkan dana, kebutuhan umrah tercukupkan.”
Sehari sebelum ibunya berangkat, Deni bertolak dari Yogyakarta ke kampung halaman untuk melepas keberangkatan sang bunda. Tentu, begitu senang melihat ibunya bisa berangkat. “Deni…, ibu berangkat dulu. Semoga suatu saat kita bisa berkumpul bersama di Tanah Suci,” pesan beliau dengan wajah gembira.
Deni pun memeluk sang ibu, sambil isak tangis tak terbendung lagi. Umrah diagendakan 12 hari. Selama 11 hari dijalani dengan rasa senang. “Namun tepat pada hari ke-11 waktu Magrib kota Makkah, Allah ‘menjemput’ ibu di area Masjid Alharam tanpa ada tanda sakit sedikit pun. Beliau kemudian dimakamkan di Ma’la, tempat pemakaman Siti Khadijah dan para Syuhada.”
Kerinduan Deni tak terbendung lagi. Walau sudah 4 tahun, ia seperti tidak percaya kalau ibunya sudah wafat. “Saya masih merasakan ibu hanya merantau, yang suatu saat akan kembali ke kampung halaman untuk berkumpul lagi,” tutur Deni sembari mengusap air mata.
“Ibu…, doa ananda senantiasa untuk Ibu. Semoga takdir Allah menempatkan ibu di Ma’la Makkah, sebagai buah ibadah dan ketulusan ibu selama ini menjalankan hidup, baik sebagai seorang istri maupun sebagai seorang ibu bagi kami. Bukankah ibu selalu berpesan bahwa setiap kebaikan yang kita tabur, adalah ibadah.”
Ia lantas ingat ketika awal masuk Yogyakarta, yang sama sekali tidak berniat sekolah, kecuali bekerja untuk mencari uang, karena ekonomi keluarganya di bawah rata-rata. Tapi takdir membawanya bisa melanjutkan pendidikan dengan modal usaha seadanya, sambil nyambi menulis.
Bekal menulis, mengantarkan dia jadi reporter Suara Muhammadiyah (SM). Setelah 2 tahun di SM, pimpinan perusahaan SM wafat. Sepuluh hari kemudian, ia ditunjuk sebagai pengganti sementara. Kemudian, diputuskan pleno secara defenitif sebagai pimpinan perusahaan.
Yang disesalkan, ibunya tidak pernah tahu dengan karir dia, selain jualan di Bringharjo, sambil kuliah. “Inilah penyesalan saya terhadap ibu, tidak bisa membahagiakan dengan apa yang saya miliki hari ini.” (Nadjib Hamid)