Jika dicermati dari tulisan-tulisan dan perbincangan sehari-hari, nampak bahwa pemikiran atau pandangan-pandangan keagamaan beliau mengenai masalah-masalah keseharian, terasa berubah.
“Ustadz Mu’ammal muda, dikenal punya pandangan dan pikiran yang keras, bahkan radikal. Tetapi pada hari tuanya menjadi sangat moderat dan bijak. Walau kalau sudah menyangkut hal-hal prinsip, tidak kenal kompromi,” ungkap mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang, Muhadjir Effendy.
Memang seiring pengalaman pergaulan beliau yang multikultural dengan radius yang terus meluas, sikap dan pemikirannya menjadi terasa kian luwes dan bijak.
Setidaknya, terlihat dari jawaban-jawaban yang ditulis di majalah MATAN. Misalnya, soal hukum bunga bank, pandangannya sangat moderat. Bagi beliau, bunga bank tidak otomatis sama dengan riba yang diharamkan dalam al-Quran, tapi tergantung illatul hukmi yang menyertainya. Oleh karena itu, tidak heran jika beliau membiarkan putranya, Mohammad Faiz, bekerja di bank konvensional. “Semula saya ragu kerja di bank, tapi ketika saya berdiskusi dengan Abah, beliau memberi penjelasan yang sangat rasional dan moderat, saya jadi mantap,” kata Faiz.
(Baca: Setahun Perginya Ulama Bersahaja Tempat Bertanya, kemudian Terantuk di Dewan Kembali ke Persyarikatan, serta “Memanfaatkan” Ustadz Mu’ammal)
(Baca juga: Bayangan Sampai Kenyataan dan Komentar serta Kesan dari Kolega)
Berbeda dengan penilain almarhum M. Hasyim Manan. Rekan seperguruan di PERSIS yang juga pernah jadi wakil ketua PWM, merasa beliau sejak dulu adalah sosok yang moderat dalam pemikiran. Dibuktikan selama lima tahun bergaul, sikap itu nampak sekali dalam diskusi kelas bersama ustadz Abdul Kadir Hassan.
“Padahal sebetulnya, banyak masalah yang kami tidak sejalan, misalnya berkumur untuk wudu’ pakai dua tangan atau satau tangan (kanan). Namun beliau tetap toleran,” tambahnya.
Selanjutnya halaman 04