PWMU.CO – Rabu pagi, 14 April setahun yang lalu. Kabar duka pagi itu beredar demikian cepat. Ratusan SMS dan panggilan telepon masuk silih berganti mengonfirmasi kebenaran berita meninggalnya KH Mu’ammal Hamidy. Sejurus kemudian ribuan penta’ziyah datang dari seluruh kalangan masyarakat. Sebuah penanda bahwa semasa hidupnya almarhum adalah sosok terhormat dan merakyat.
Meski penampilannya bersahaja, tapi umat merindukannya. Beliau bukan hanya seorang ulama yang menjadi tempat bertanya mengenai masalah-masalah agama, ––seperti konsultasi Keluarga Sakinah yang diasuh di masjid al-Falah Surabaya dan rubrik Tanya Jawab Agama di beberapa majalah–– , tapi juga gampang tersentuh jika disambati jamaah yang ekonominya lagi susah. Beliau pun sering menjadi penjamin hutang untuk beberapa jamaah.
Semuanya dijalani dengan enjoy sebagai bagian dari dakwah. Karena memang hampir seluruh hidupnya didedikasikan untuk dakwah. “Urusan umat lebih dikedepankan daripada keluarga. Bahkan saran anak-anaknya, agar Abah mengurangi kegiatan dakwah seiring usia dan kesehatannya pun kerap diabaikannya,” ungkap Mohammad Faiz, anak kedua yang kini bekerja di Bank BTN.
(Baca: Penulis Produktif dan Moderat, kemudian Terantuk di Dewan Kembali ke Persyarikatan, serta “Memanfaatkan” Ustadz Mu’ammal)
(Baca juga: Bayangan Sampai Kenyataan dan Komentar serta Kesan dari Kolega)
Saking kuat komitmennya pada panggilan berdakwah, beliau pernah menyembunyikan sakitnya. Zuhroh Binadari, anak pertamanya yang juga menantu mantan Wagub Mohammad Zuhdi menuturkan, suatu ketika menjelang hari raya idul fitri, Abahnya dirawat di rumah sakit. Tapi memaksakan diri keluar hanya untuk khutbah, dan pulang sebentar menemui tamu. Kemudian masuk rumah sakit lagi.
“Kini kami kesulitan melacak kewajiban-kewajiban Abah terkait posisinya sebagai penjamin hutang jamaah. Takutnya ada tanggungan Abah yang tidak terselesaikan,” keluh Faiz.
Selanjutnya halaman 02…..